Aku sebenarnya enggan untuk menemui temanku di salah satu kafe yang terletak di selatan Jakarta. Meski besok hari libur perayaan natal, aku masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan sampinganku. Mendengar suara tangisnya di telpon, tanpa pikir panjang aku langsung merapikan komputer jinjingku dan menuju kesana.
Disana,
aku mendapati dirinya yang sedang tertunduk lesu. Maskaranya luntur dan
wajahnya pucat pasi.
“Kenapa
dia begitu bahagia,” katanya.
Aku
ingin bertanya perihal ‘dia’ yang temanku maksudkan. Tapi kuurungkan, aku
menunggu lanjutan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hampir satu menit dia
terdiam sejak kalimat pertama keluar dari mulutnya. Kuputuskan untuk menyulut
sebatang rokok. Kemudian dia meminta sebatang rokok dan kubantu menyulutnya.
“Dia
bahagia setelah meninggalkanku,” katanya setelah membuang ingus pada tissue. “Kenapa
dia tidak sedikit pun berempati. Aku tidak mengharapkannya kembali, tetapi
melihatnya mengumbar kebahagiaan di twitter membuatku muak.”
Aku
mematikan rokok miliknya yang diletakkan di atas meja. Aku menunggu kalimat
lanjutan darinya tapi bibirnya terkatup rapat. Jadi kuputuskan untuk mulai
berbicara.
“Seseorang
yang ingin pergi, biasanya memiliki persiapan. Setidaknya sesekali dia berpikir
apa saja yang perlu disipkannya sebelum melanjutkan perjalanan. Begitu pun
pasanganmu. Ketika dia meninggalkanmu, dia sudah berpikir matang-matang untuk
meninggalkanmu dan menentukan waktu untuk mengatakannya. Sedangkan yang
ditinggalkan tentu tak tahu-menahu perihal ini, keterkejutan yang menyakitkan.”
“Hubungan
kami baik-baik saja, setidaknya dia mengatakan keputusannya meninggalkanku karena
tak ingin menyakitiku. Seandainya aku salah, aku ingin memperbaikinya tapi dia
tak memberiku kesempatan. Dia menganggapku seperti barang, yang bisa dibuang kapan saja
sesukanya,” katanya sambil terisak.
Berakhirnya
sebuah hubungan tentu ada yang tak beres di dalamnya. Jika baik-baik saja,
mengapa harus berpisah. Persoalan putusnya sebuah hubungan begitu kompleks.
Tidak melulu hadirnya orang ketiga. Bisa saja sedari awal kita salah
menafsirkan, bahwa rasa yang ada bukanlah cinta.
Masalah
tentu selalu ada. Tidak hanya dalam hubungan, ketika menjalani hidup sendiri
pun masalah selalu hadir. Persoalannya, seberapa besar usaha kita untuk
menyelesaikannya. Jika pada akhirnya memutuskan untuk berpisah tanpa membicarakan
masalah yang dihadapi , kamungkinan besar dia tidak mencintaimu. Jika dia
mencintaimu, tentu dia akan ikut berjuang.
Persoalan
tidak ingin menyakiti, atau kamu lebih pantas mendapat yang lebih baik
terdengar sangat klise. Jika dia mencintaimu, kenapa tidak berusaha untuk tidak
menyakiti dan memantaskan diri menjadi pasanganmu. Buat saya, itu alasan yang
dibuat-buat. Alasan hanya agar lebih mudah meninggalkan. Pada akhirnya, itu
sebuah keputusan bukan sebuah ajakan untuk duduk bersama dan menyelesaikannya.
Tapi
aku tidak berani mengutarakan kepadanya. Aku memutuskan hanya menjadi
pendengar saja. Aku sadar betul kapasitasku. Sebagai orang yang sering
gagal dalam hal percintaan, rasanya terlalu sok untuk menasehati orang lain.
Ditinggalkan pada posisi yang tak jelas pernah kualami dan tentu saja aku tahu
rasanya seperti apa.
Sambil
terisak, temanku menghabiskan jack D di hadapannya. Melihatnya yang mulai
limbung, aku memaksanya untuk pulang. Aku meminta pelayan kafe memesankan
taksi. Aku memapah temanku ke arah taksi dan memberikan sejumlah uang kepada
supir taksinya.
Aku
kembali duduk, mengisap rokok dan menikmati secangkir kopi. Seketika
pertanyaan-pertanyaan memenuhi benakku. Kuputuskan membunuh pertanyaan itu
dengan memesan sebotol jak D. Dalam
setiap tegukan, satu-persatu pertanyaan itu hilang dan pikiranku mulai kembali
kosong.
*gambar dipinjam di sini
0 comments:
Posting Komentar