Ada kalanya, Bapak menjadi sosok yang menyebalkan. Melarang saya melakukan banyak hal yang saya inginkan. menjadi sosok kolot yang menyebalkan. Ada fase dimana kami saling tak bertegur sapa, berbeda pendapat dan merasa benar. Namun tak pernah berlangsung lama, kami akan mengobrol lagi, seperti tidak ada masalah sebelumnya. Tidak ada kata maaf disana, baik saya dan bapak tidak terbiasa mengungkapkan hal itu. Namun kami mengubah sikap masing-masing jika salah satu diantara kami melakukan kesalahan.
Beranjak dewasa, bapak menjadi
sosok sahabat. Teman lari pagi, teman menonton bola dan larangan-larangan itu
pun berangsur-angsur hilang. Saya diberi kebebasan penuh untuk mengambil sikap,
baik salah atau benar di kemudian hari,
itu tak jadi soal. Baginya,
seseorang yang beranjak dewasa harus memikul tanggung jawabnya sendiri atas apa
yang sudah dipilihnya. Namun tidak berarti lepas tangan dan meninggalkannya
sendirian.
Bulan puasa ini, kami seringkali
menghabiskan waktu berbuka dan sahur berdua. Adik saya-yang masih
kuliah-seringkali pulang malam, bahkan tidak pulang. Ada semacam kesepatakan
yang tertulis antara saya dan bapak. Menjelang buka puasa, bapak akan menyeduh
teh untuk kami berdua (bertiga). Saya membeli lontong dan aneka gorengan. Begitu pun menjelang sahur, bapak akan
menyiapkan nasi dan saya menyiapakan lauk. Kami melakukannya tanpa kordinasi
atau pembagian tugas. Kami melakukan apa yang kami bisa, yang kami mau.