Ada kalanya, waktu dapat
menyembuhkan luka. Entah, apakah waktu memiliki semacam obat penawar dari rasa
sakit atau persepsi kita yang berubah seiring berjalannya waktu. Saya tidak
condong pada salah satu pilihan. Baik waktu dan persepsi kita mengenai hidup
seperti paket, kedua-duanya sudah terbungkus rapi dalam perjalanan hidup. Memberikan waktu pada diri sendiri, mengambil
jarak dari semua kejadian yang membuat hati terluka dan mencoba mencari titik
temu dari permasalahan yang ada. Pada akhirnya, saya belajar berdamai.
Saya ingat pertemuan kita
terakhir kali. Pertemuan pertama setelah berakhirnya hubungan kita enam bulan
lalu. Pertemuan yang tidak direncanakan namun membuat kita berdamai dengan masa
lalu. Kamu, masih seperti dulu. Masih seringkali manyun. Meski senyumanmu
manis, aku selalu menyukai manyunmu. Aku
sering mengatakannya kepadamu soal itu.
“Apa kamu masih marah?” tanyamu
padaku.
Sebuah pertanyaan tanpa
basa-basi. Menembak langsung pada permasalahn yang sudah lama kita hindari. Aku
terkesiap namun tak betul-betul tak siap.
“Kalau ini tentang hubungan kita,
tentu saja tidak. Itu sudah lama terjadi. Kalau soal lain, saya tidak tahu.
Seingat saya, setelah hubungan kita berakhir, tidak ada masalah lagi.”
“Iya, tentang hubungan kita. Aku
masih tidak percaya, kamu pasti masih marah. Aku bisa lihat di mata kamu. Mata
yang teduh itu kini tak menenangkan lagi. Ada bara di sana.”
“Saya sudah menerima Nai. Kalau
pun kita tidak berkomunikasi, itu tidak berarti kita saling membenci. Kita
hanya butuh jarak, hanya itu,” jawab saya.
“Akh, masih seperti dulu, selalu
menghindar. Kenapa kamu tidak marah-marah saja sih. Seenggaknya, membuat aku
lebih tenang. Aku ingin kamu marah, kamu murka.”
“Saya sudah menemukan jawabannya,
Nai. Saya sadar, saya tidak cukup baik untuk kamu dan untuk mantan-mantan saya sebelumnya,
karena itu kamu (mereka) meninggalkan
saya. Tuhan ingin kamu mendapatkan laki-laki yang baik, laki-laki yang hebat
untuk mendampingi kamu.
Bagian saya, adalah belajar
menjadi baik. Untuk saya sendiri dan untuk pasangan saya ke depannya. Saya ingin pasangan saya nanti memiliki rasa
bangga terhadap saya. Saya ingin fokus pada hidup, ingin mengejar impian saya,
ingin mencari pekerjaan yang baik dan belajar menjalankan agama dengan baik.
Mengenai hubungan, saya memang
sengaja memberi jeda. Bukan karena takut gagal, tapi karena saya tidak cukup
yakin pada diri saya sendiri kalau saya sudah lebih baik dari sebelumnya. Saya
tidak ingin mengecewakan orang lain lagi. Tidak ingin merusak ekspektasi
pasangan saya. Saya sedang memperioritaskan
beberapa hal ke depan. Semoga, itu bisa menjadi langkah awal, modal awal
bagi hidup saya.
Saya ingat betul, kamu pernah
mengatakan, kalau aku yang terbaik kamu tidak akan malu-malu untuk meminta balik.
Dari situ saya sadar, saya tak cukup baik. Tapi percaya lah, saya melakukan ini
untuk diri saya sendiri, untuk pasangan saya ke depannya. Saya tidak tahu
apakah itu kamu atau lainnya.
Terima kasih, Nai. Sudah
membukakan mata saya.
0 comments:
Posting Komentar