Bapak




Ada kalanya, Bapak menjadi sosok yang menyebalkan. Melarang saya melakukan banyak hal yang saya inginkan. menjadi sosok kolot yang menyebalkan. Ada fase dimana kami saling tak bertegur sapa, berbeda pendapat dan merasa benar. Namun tak pernah berlangsung lama, kami akan mengobrol lagi, seperti tidak ada masalah sebelumnya. Tidak ada kata maaf disana, baik saya dan bapak tidak terbiasa mengungkapkan hal itu. Namun kami mengubah sikap masing-masing jika salah satu diantara kami melakukan kesalahan.

Beranjak dewasa, bapak menjadi sosok sahabat. Teman lari pagi, teman menonton bola dan larangan-larangan itu pun berangsur-angsur hilang. Saya diberi kebebasan penuh untuk mengambil sikap, baik salah atau benar di kemudian hari,  itu tak jadi soal.  Baginya, seseorang yang beranjak dewasa harus memikul tanggung jawabnya sendiri atas apa yang sudah dipilihnya. Namun tidak berarti lepas tangan dan meninggalkannya sendirian.

Bulan puasa ini, kami seringkali menghabiskan waktu berbuka dan sahur berdua. Adik saya-yang masih kuliah-seringkali pulang malam, bahkan tidak pulang. Ada semacam kesepatakan yang tertulis antara saya dan bapak. Menjelang buka puasa, bapak akan menyeduh teh untuk kami berdua (bertiga). Saya membeli lontong dan aneka gorengan.  Begitu pun menjelang sahur, bapak akan menyiapkan nasi dan saya menyiapakan lauk. Kami melakukannya tanpa kordinasi atau pembagian tugas. Kami melakukan apa yang kami bisa, yang kami mau.

Saat pagi menjelang, bapak menyapu halaman rumah.  Tugas saya, menyapu bagian dalam rumah, mengepel, mencuci piring dan merendam pakaian. Sebenarnya, saya ingin dia santai saja. Tidak perlu melakukan apa pun. Biarlah, urusan bersih-bersih rumah dan menyiapakan makanan untuk buka serta sahur saya yang melakukannya. Namun, dia tetap melakukan apa yang dia mau, yang dia suka dan saya tak berani melarangnya dan memintanya untuk santai saja.

Saya tahu, dia hanya ingin memastikan anak-anaknya bisa melaksanakan ibadah puasa dengan baik. Menyiapkan banyak hal termasuk makanan untuk berbuka dan sahur. Meski kami sudah beranjak dewasa, baginya, seorang anak tetaplah anak. Tidak peduli berapa usianya. Dia tetap ingin menjalankan tugasnya sebagai seorang bapak.

Dalam obrolan pagi, setelah merapikan rumah, kami mengobrol singkat. Dari obrolan itu, kami berdua sadar, kami merindukan rumah yang ramai. Rumah yang kecil ini tetap terasa sunyi meski hanya diisi dua orang. Kami merindukan mama, kakak dan ponakan saya berkumpul bersama di bulan puasa ini. Sayangnya, hal itu tidak bisa terjadi.

“Nasi ini cukup nggak buat kita sahur? Kalau cukup, bapak mau masak nasi goreng. Kalau nggak, ya masak nasi lagi,” katanya sambil memotong bahan-bahan dapur untuk bumbu nasi goreng.

“Cukup koq, nggak perlu masak lagi,” jawab saya singkat.

“Mau nasi goreng? Biar dibuat banyak sekalian,” tambahnya.

“Nggak, saya kenyang. Buat bapak aja.”

Bapak pun melanjutkan memasak nasi goreng. Saya menyeduh kopi. Obrolan kami hanya sesingkat itu. ya, sesingkat itu tapi kami tahu, meski lebih banyak diam, kami saling peduli.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar