“Aku bukannya nggak sayang sama Mama, justru
aku ingin ada yang mengurusnya dengan baik.”
“Kalau kamu sayang, nggak sepantasnya kamu
membuangnya.”
Suara itu lagi, teriakan itu lagi. Suara-suara
yang lahir dari kemarahan, suara yang terus meninggi hingga mengubah malam yang
sepi menjadi ingar-bingar. Suara perdebatan yang tak pernah usai. Suara yang kupikir
lebih mirip lolongan anjing di malam bulan purnama, bersaut-sautan, saling
memanggil dan menjawab. Suara yang tak pernah lelah keluar dari tenggorokan pemiliknya. Suara yang membuatku sakit,
membuatku sedih dan pada akhirnya membuatku muak.
Suara-suara itu terus berbunyi diselingi
dentuman benda pecah belah. Aku sempat
berpikir mengganti semua perabotan di rumah dengan plastik, hingga tak perlu
lagi bangun pagi hari untuk membereskan semua pecahan kaca yang mereka
lemparkan. Aku juga berpikir melapisi lantai rumah dengan busa, sehingga setiap
benda yang jatuh, terlempar –dilemparkan-tak akan pecah. Namun semua berakhir
hanya dalam pikiranku. Tubuhku terlalu malas untuk melakukannya. Kupikir,
mereka sudah sama-sama dewasa, dan melempar barang hanya hobi yang mereka
lakukan untuk melepas stres yang melanda mereka.