Selepas Malam


“Aku bukannya nggak sayang sama Mama, justru aku ingin  ada yang mengurusnya dengan baik.”
“Kalau kamu sayang, nggak sepantasnya kamu membuangnya.”  
Suara itu lagi, teriakan itu lagi. Suara-suara yang lahir dari kemarahan, suara yang terus meninggi hingga mengubah malam yang sepi menjadi ingar-bingar. Suara perdebatan yang tak pernah usai. Suara yang kupikir lebih mirip lolongan anjing di malam bulan purnama, bersaut-sautan, saling memanggil dan menjawab. Suara yang  tak pernah lelah keluar dari tenggorokan pemiliknya. Suara yang membuatku sakit, membuatku sedih dan pada akhirnya membuatku muak. 
Suara-suara itu terus berbunyi diselingi dentuman benda pecah  belah. Aku sempat berpikir mengganti semua perabotan di rumah dengan plastik, hingga tak perlu lagi bangun pagi hari untuk membereskan semua pecahan kaca yang mereka lemparkan. Aku juga berpikir melapisi lantai rumah dengan busa, sehingga setiap benda yang jatuh, terlempar –dilemparkan-tak akan pecah. Namun semua berakhir hanya dalam pikiranku. Tubuhku terlalu malas untuk melakukannya. Kupikir, mereka sudah sama-sama dewasa, dan melempar barang hanya hobi yang mereka lakukan untuk melepas stres yang melanda mereka. 
Aku memperhatikan nenek yang tertidur pulas membelakangiku. Aku duduk di pinggir dipan, membelai rambut putihnya dan sesekali mengusap punggung tangannya. Perempuan tua ini yang ingin ayah lenyapkan, menempatkannya di panti jompo, membiarkannya mati perlahan di sana. Pembunuh terbaik adalah kesepian. Dan, ayah tahu itu. Perempuan ini juga yang ingin Ibu pertahankan, meski sebenarnya ibu tak pernah benar-benar menginginkannya.
Ibu tak pernah meluangkan waktu untuk nenek. Seperti ayah, waktunya dihabiskan untuk bekerja. Satu-satunya alasan yang membuatnya terus mempertahankan nenek tinggal di rumah karena gunjingan para saudara. Ibu tak ingin dicap sebagai anak durhaka yang menitipkan orang tuanya di panti jompo.
Dan, perempuan yang tidur di sampingku selalu merasa bersalah, merasa keributan dan suara lengkingan di malam hari disebabkan olehnya. Sering dia berdoa pada tuhan agar segera menyabut nyawanya, agar anak-anak tak perlu meributkannya lagi. Namun, tuhan teramat sayang padanya, karenanya, doanya tak pernah dikabulkan.
“Ambilkan minum, Ra,” pinta nenek saat membalikkan tubuhnya ke arahku.
Aku melirik gelas di atas nakas , gelas itu sudah kosong. “Sebentar, Rara ambilkan di dapur.”
Aku melangkah keluar dari kamar nenek. Sepasang manusia masih berdiri berhadapan. Umpatan, makian dan kata-kata menjijikan keluar dari mulut mereka. Mereka seolah lupa bagaimana cara berbicara kepada manusia. Otak keduanya seakan tak memiliki pembedaharaan kata, selain  kata makian.
Suara keras itu tiba-tiba saja berhenti. Mereka menatapku yang keluar dari kamar nenek, keduanya sejenak terpaku. Aku, seperti tombol pause dalam sebuah pemutaran film, membuat keduanya terdiam.
“Rara, masuk! Jangan ikut campur urusan orang tua,” kata Ayah sambil menatap tajam kepadaku.
“Kamu tidur ya, Ra, besok kan sekolah!” pinta ibu kepadaku.
Aku mengangkat gelas di tanganku dan menunjukkannya kepada mereka. “Rara mau ambil minum, lanjutkan saja omong kosong kalian,” kataku sambil pergi menuju Dapur.
Pintu kamar nenek yang kututup ibarat tombol play, pemutaran film perkelahian pun berlanjut. Suara-suara itu kembali mengisi rumah kami.
Terkadang, aku ingin menonton keributan mereka. Duduk di sofa sambil menikmati cemilan. Sempat terpikir untuk merekamnya lalu kuunggah di youtube atau instagram. Biar semua orang tahu, beginilah wajah-wajah pendusta. Wajah yang selalu manis dan tersenyum di hadapan banyak orang, namun selalu bertengkar saat berada di rumah.
“Ribut lagi, Ra?” tanya nenek saat menyerahkan gelas yang isinya tinggal setengah. “Mending nenek mati daripada harus membuat ribut ayah dan ibu kamu.” Tangannya  mengusap air  mata yang meleleh di pipinya.
Aku meletakkan gelas di atas nakas. Entah, kekuatan atau bisikan dari mana, tiba-tiba tanganku meraih bantal dan menutupi wajah nenekku. Kakinya bergerak-gerak, berusaha melawan. Kukerahkan semua tenagaku, tekanan bantal pada wajahnya semakin kuat. Kaki-kakinya yang menggelinjang pun terus melemah, melemah, hingga tak bergerak lagi.
Aku membuka pintu kamar, dua orang di hadapaanku masih saling memaki. Mereka kembali menatapku. Tatapan yang mengisyaratkan agar segera menjauh dari arena pertengkaran mereka.
“Udah, nggak perlu ribut lagi. Nenek udah pergi. Kalian puas sekarang?” kataku sambil pergi menuju lantas atas, kamarku.
Aku meningalkan dua orang itu, aku tak ingin tahu bagaimana reaksi mereka saat melihat nenek mati. “Jika setelah nenek mati kalian masih ribut juga, aku akan membuat kalian terdiam. Seperti yang kulakukan terhadap nenek,” gumamku sambil merebahkan tubuh di kasur.  
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar