“Bagaimana hidupmu?”
“Biasa saja. Terkadang mengalami kesulitan,
terkadang lancar-lancar saja. Berdiri di antara keramaian, selebihnya merasakan
kesepian. Terkadang aku merasa sedih, pada lain waktu aku merasa begitu
bahagia. Ya, dunia memang tak baik-baik saja. Tak perlu berpikir untuk
mengubahnya, aku hanya perlu belajar menerimanya. “
Hidup yang paling buruk adalah menjadi
apatis. Berangkali benar ungkapan itu. Bukan apatis terhadap hal-hal tertentu
seperti politik, tetapi apatis terhadap semua hal di dunia ini. Mengeluh
bukanlah hal baik tetapi lebih baik daripada menjadi apatis. Jika kau masih mengeluh,
tandanya kamu merasakan hidup, masih peduli pada hal-hal yang mengusikmu, masih
merasakan kesal terhadap hal-hal yang tak kamu sukai.
Menjadi apatis, kamu melewati fase mengeluh. Kamu
mulai tak peduli pada apa pun. Kamu menerima semua yang terjadi pada dirimu. Dikucilkan,
ditinggalkan teman, kehilangan pekerjaan, dan tak lagi memiliki impian. Kamu menerima
semua itu sebagai jalan hidup. Jalan di mana kamu harus menanggungnya seorang
diri. Kamu tak merasa perlu berbagi. Apa yang harus dibagi jika kamu tak lagi
merasakan apa-apa.
Bagimu, hidup hanya menunggu kematian datang.
Tak perlu panggung, tak perlu sorot lampu, tak perlu hingar-bingar, kamu
menunggunya dengan amat tenang, amat sunyi.
Sesekali kamu merasa bosan dan mulai berpikir
kalau tuhan bekerja terlalu lambat untuk merenggutnya. Kamu ingin mengambil
bagianmu, mengambil kematian lebih cepat, namun, pada saat bersamaan kamu
mengenyahkan pikiran itu. Alangkah lebih baik menyerahkan urusan kematian pada
tuhan. Manusia tidak diberi tanggung jawab untuk memikirkan itu. “Jika manusia memikirkan kematian, lalu
apa tugas tuhan?” tanyamu sambil menengadah ke langit, menunggu jawaban dari tuhan.
0 comments:
Posting Komentar