“Dua sendok robusta, satu sendok arabica dan
satu sendok gula. Diseduh menggunakan air yang mendidih. Kamu tidak suka pakai
air termos atau dispenser kan,” kata ayahku sambil meletakkan gelas berisi kopi
di meja. Kepulan asap yang keluar dari gelas mengenai wajahku, hidungku kembang-kempis
mencium aroma kopi.
Ayahku meletakkan segelas kopi
lainnya-untuknya. Kutaksir, dia membuat kopi menggunakan kopi bubuk produksi pabrik
asal Surabaya. Aku cukup heran dengan hal ini. Seringkali aku membawa kopi dari
beragam daerah. Aku bahkan memiliki grinder untuk menghaluskan biji kopi yang
kubeli. Namun ayahku hanya mencobanya satu kali dan beralih ke kopi buatan
pabrik yang harganya hanya seribu rupiah per bungkus.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya ayahku.
“Yah, begitu-begitu aja. Cuma ngedit tulisan
dari reporter. Bosen,” jawabku sekenanya.
Ayahku hanya diam, tidak menanggapi
jawabanku. Bukan hal baru, ayahku bukan lelaki yang banyak bicara. Obrolan kami
pun seringkali hanya beberapa pertanyaan dan jawaban-jawaban singkat. Setelahnya
kami akan menghabiskan banyak waktu untuk diam atau pergi meninggalkan salah
satu yang bertahan.