Nasihat (tidak) Bijak





Aku mencium punggung tangannya, mengecup keningnya dan memeluknya. Perempuan yang usinya genap 66 tahun ini memintaku datang. Memintaku rehat sebentar dari kemacetan Jakarta, menunda sedikit pekerjaanku dan melupakan tentang kesibukan-kesibukan lainnya. Aku harus sedikit bertengkar dengan atasanku, mengingat tenggat pekerjaan yang hampir mendekati garis mati, aku tak dizinkan pulang, meski hanya dua hari.
Aku meyakinkan atasanku, semua tugasku akan selesai tepat waktu. Aku mempertaruhkan pekerjaanku. “Jika tak selesai tepat waktu, pecat saja. Saya nggak bisa menolak permintaan ibu,” kataku. Dia menatap tajam, menunjukku menggunakan jari telunjuknya dan pergi begitu saja. Aku anggap diamnya adalah persetujuan.
Dan, di sinilah aku sekarang. Berada di rumah tua, rumah panggung yang tak ingin diganti ibuku. Ada banyak kenangan yang tak bisa kauganti, ada banyak cerita yang akan rusak jika rumah ini direnovasi, begitu kata ibu setiap kali aku menawarkan untuk merenovasi rumah peninggalan ayah.

“Makan dulu, Nak, ibu sudah masak makanan kesukaanmu,” kata ibuku dan menyuruhku masuk ke dalam rumah.
Masakan kesukaanku sungguh sederhana. Sambel kacang yang digerus tidak terlalu halus lalu diberi perasan jeruk limau. Rebusan daun pepaya muda, ikan teri yang digoreng bersama cabai hijau dan sayur asem.
Aku mengajak ibuku makan bersama, dia menolak dan mengatakan sudah kenyang. Aku duduk di atas lantai yang terbuat dari papan. Ibu duduk di sebelahku, memerhatikanku makan. “Tambah nasinya, Nak,” ujarnya sambil menyendokkan nasi yang masih mengepul dan menaruhnya di atas piringku. Akh, ibu, anakmu sudah besar, masih saja kauperlakukan seperti anak kecil yang kelaparan setelah bermain layang-layang seharian.
“Kenapa tiba-tiba ibu memintaku pulang?”
“Makanlah dulu, tidak baik makan sambil berbicara.” Ibu pun pergi menuju ruang tamu.
Aku mempercepat makanku. Mengepalkan nasi besar-besar dan melahapnya. Aku menutup sisa makanan dengan tudung saji dan membawa piring kotor di dapur. Setelahnya, aku bergegas menuju ruang tamu, tempat di mana ibu menungguku.
“Kamu tahu rasanya menjadi tua, Nak?” ibu langusung memberiku pertanyaan. Membuatku gagap dan tak mengerti arah pembicaraannya.
“Manusia yang diberi umur panjang oleh tuhan akan mengalaminya, Bu. Ibu diberi kesempatan oleh tuhan hingga usia sekarang.”
“Sejak ayahmu meninggal, aku hanya memikirkan bagaimana membesarkan kalian. Terkadang, aku rindu ayahmu. Alangkah indahnya menghabiskan masa tua bersamanya.”
“Ibu punya kami, kami akan selalu ada kapan pun ibu membutuhkan.”
“Kakakmu, sudah tinggal bersama suaminya dan memberikan ibumu dua orang cucu. Adikmu, mendapat pekerjaan bagus di kota dan juga telah menikah. Hanya kamu yang masih sendiri,” katanya tanpa memedulikan ucapanku. “Segerakalah, Nak. Selagi ibu masih ada umur.”
Aku memeluknya erat. Tak ada sepatah kata pun yang kuucapkan, tak ada kalimat yang bisa menjawab pertanyaan ibu. Aku tak tahu bagaimana menjawabnya.
“Ibu tak berpikir tentang diri ibu, ibu memikirkanmu. Menjadi tua, kita berteman akrab dengan kesepian. Anak-anak tumbuh dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri. Sesekali datang untuk menghibur lalu melanjutkan kehidupannya masing-masing. Tidakkah kau takut menjadi tua dalam kesepian, Nak?
Kumohon jangan. Kesepian adalah cara terburuk untuk mati, Nak. Dia menggerogotimu perlahan demi perlahan. Kau tak pernah sadar hingga saatnya tiba, kamu akan mati dengan menyedihkan.
Ibu tahu, ini bukan nasihat yang bijak. Jika kamu tak bisa menemukan seseorang yang dapat kamu cintai atau mencintaimu, menikahkan dengan perempuan yang agamanya baik. Jika dia tidak bisa mencintaimu, dia akan tetap menjaga rumah tanggamu dengan baik.”
Ibu berjalan menuju kamar, meninggalkanku yang terpaku di ruang tamu, sendirian. Aku mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan, termasuk meninggalkan pekerjaanku di Jakarta dan menetap bersama Ibu. Barangkali, aku akan hidup dalam kesepian tapi aku tak ingin ibu menghabiskan usianya senjanya dalam kesendirian. Kesepian.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar