“Dua sendok robusta, satu sendok arabica dan
satu sendok gula. Diseduh menggunakan air yang mendidih. Kamu tidak suka pakai
air termos atau dispenser kan,” kata ayahku sambil meletakkan gelas berisi kopi
di meja. Kepulan asap yang keluar dari gelas mengenai wajahku, hidungku kembang-kempis
mencium aroma kopi.
Ayahku meletakkan segelas kopi
lainnya-untuknya. Kutaksir, dia membuat kopi menggunakan kopi bubuk produksi pabrik
asal Surabaya. Aku cukup heran dengan hal ini. Seringkali aku membawa kopi dari
beragam daerah. Aku bahkan memiliki grinder untuk menghaluskan biji kopi yang
kubeli. Namun ayahku hanya mencobanya satu kali dan beralih ke kopi buatan
pabrik yang harganya hanya seribu rupiah per bungkus.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya ayahku.
“Yah, begitu-begitu aja. Cuma ngedit tulisan
dari reporter. Bosen,” jawabku sekenanya.
Ayahku hanya diam, tidak menanggapi
jawabanku. Bukan hal baru, ayahku bukan lelaki yang banyak bicara. Obrolan kami
pun seringkali hanya beberapa pertanyaan dan jawaban-jawaban singkat. Setelahnya
kami akan menghabiskan banyak waktu untuk diam atau pergi meninggalkan salah
satu yang bertahan.
Kami-kakak, aku dan adikku-segan kepada ayah.
Kami tidak terbiasa menceritakan apa pun kepadanya. Beberapa kali aku bercerita
tentang kejadian di sekolah, ayah hanya diam dan memintaku bermain di luar
rumah. Hal ini juga yang membuat kami dekat dengan ibu. Segala hal, mulai dari
kejadian-kejadian yang kami alami di sekolah hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya
kami sampaikan kepada ibu. Ibu menjadi penyambung lidah bagi kami, ibu yang
akan mengatakannya kepada ayah.
Bahkan, ketika adikku pulang setelah dipukuli
dan dirampas barang-barangnya oleh anak-anak SMA yang nongkrong di pasar,
ayahku tetap diam. Kulihat wajahnya geram, tangannya mengepal, dan memukul
kursi, hanya itu yang dia lakukan, satu-satunya yang bisa dia lakukan. Aku mengajak
beberapa sepupuku pergi ke pasar, membelas perlakuan mereka kepada adikku. Dengan mudah, aku berhasil memukuli mereka dan
mengambil kembali barang-barang milik adikku.
Kupikir ayah akan senang, ternyata tidak. Dia
menghampiriku dan memukulku. “Aku tidak mendidikmu menjadi preman kampung. Aku mendidikmu
agar menjadi orang berguna,” katanya setelah memukul pantatku dengan rotan.
“Termasuk menjadi pengecut ketika dipukuli
orang lain?” Ayah pergi meninggalkanku. Tidak acuh terhadap perkataanku.
Pada kesempatan lain, adikku protes kepada
ibu karena sepatu lungsuran dariku sudah robek dan tidak bisa dipakai lagi. Dia
meminta sepatu baru, ibu hanya mengatakan sabar dan akan membelikannya saat ayah
punya uang. Adikku yang tak sabar pergi menemui ayah dan merengek di depannya.
Ayah hanya diam dan pergi meninggalkan rumah. Sejak rengekan itu, ayah selalu pulang pagi hari. Aku tidak berani
bertanya kemana ayah pergi, begitupun kakakku.
Sebulan setelahnya, ayah membawakan sepatu
baru untuk adikku. Tidak benar-benar baru namun cukup bagus untuk mengganti sepatunya
yang sudah robek itu. Pagi hingga sore, ayah bekerja sebagai tukang bersih
jalanan, pekerjaannya yang dilakoninya sejak puluhan tahun namun tak mengubah ekonomi
keluarga kami. Aku cukup takjub saat ayah membelikan adikku sepatu. Belakangan,
aku tahu dari ibu kalau ayah ikut bekerja mengaspal jalan. Temannya yang mengajaknya.
Pekerjaan tambahan untuk dapat mengumpulkan uang lebih. Uang untuk membeli
sepatu.
Hal yang paling menyenangkan adalah ketika
ayah membawakan kami buku-buku bekas. Komik, novel dan majalah-majalah
anak-anak. Aku tidak tahu dari mana ayah mendapatkannya. Rasa penasaran membuatku
dan kakakku mengikuti ayah seharian penuh di hari sabtu. Ayah selalu membawakan
kami buku-buku di hari sabtu, satu bulan sekali.
Dari jauh, kami melihat ayah memasuki sebuah
rumah penadah rongsokan. Dia menenteng dua karung besar dengan botol-botol
menyembul di atasnya. Tak lama, ayah keluar dari tempat itu dengan membawa
buku-buku bekas. Ayah mengumpulkan botol-botol yang ditemukannya saat
membersihkan jalan dan menukarnya dengan buku-buku bekas. Aku tak kuasa menahan
tangis melihat kegigihannya untuk membuat kami senang membaca. Kakakku sudah
terisak sejak tadi.
“Mulailah kehidupanmu. Sudah waktunya bagimu membangun
hidupmu sendiri,” katanya melanjutkan perbincangan kami yang terputus.
“Ini hidup saya, Yah. Saya sudah memulainya
sejak lama.”
“Ayah hidup dengan rasa bersalah. Tidak bisa
memenuhi kehidupan kalian dengan layak. Tidak bisa membelikan apa yang kalian
inginkan. Aku hanya diam karena merasa malu kepada kalian. Maafkan ayah, tidak
bisa menjadi ayah yang baik bagi kalian.”
“Ayah, orang tua yang baik. Saya tak pernah
menyesal menjadi anak ayah,’ kataku.
“Terima kasih sudah menjaga ibu, kakak dan
adikmu. Tugasmu sudah selesai, bangun kehidupanmu sendiri. Terima kasih sudah
menjadi anak yang membanggakan.” Ayah menghampiriku, memelukku.
“Terima kasih sudah menjadi ayah yang hebat.”
Aku memeluknya lebih erat.
Tubuhku berguncang, pelukanku merenggang. Kulihat,
ayah menjadi serpihan-serpihan, hilang tertiup angin. Aku pun terjaga dari
tidurku. Ibuku duduk di ujung dipan, menggoyangkan-goyangkan tubuhku. Membangunkanku
dari mimpi.
Aroma kopi racikan ayah masih menempel di
hidungku. Terasa begitu nyata. Begitupun pelukan hangat dan kesempatan langsung
untuk mengucapkan terima kasih kepadamu, Yah.
“Semoga Ayah tidak kekurangan kopi di sana.”
0 comments:
Posting Komentar