“Mau sampai kapan duduk di kursi penonton?”
“Sampai filmnya habis. Sampai aku mati.”
Sejak kecil, aku merasa bukan pejuang. Aku
selalu berada di kursi penonton. Mencukupkan diriku sebagai penonton. Menikmati
setiap adegan di hadapanku. Memandangi kemenangan dan kekalahan orang lain. Melihat
air mata yang tumpah atau tawa yang merekah. Bertepuk tangan saat pejuang
berhasil mengalahkan musuh dan bersedih saat melihat pejuang mati di
peperangan.
Saat duduk di bangku SMA, aku dan sembilan murid lainnya dipanggil ke ruang guru. Kami diminta untuk mengikuti serangkaian tes sebelum mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat tingkat kabupaten. Aku melihat wajah-wajah tegang, bahagia, terharu dan ekspresi lainnya yang tidak kumengerti. Aku tak merasakan apa-apa, semua biasa saja. Ketika sembilan temanku pergi menuju kelas, aku menghampiri guruku.
Aku tak pantas mengikuti lomba ini, kataku
kepada guru yang tadi menyampaikan perihal lomba ini. Aku tidak masuk dalam
jajaran murid yang pintar dan mengikuti tes hanya akan sia-sia karena aku tidak
mungkin bisa mengalahkan mereka. Guruku melepas kacamatanya. Meletakkannya di
meja dan memijat dahinya. Dia memintaku duduk.
“Kamu pintar, hanya saja, kamu malas. Nilaimu
hanya turun di semester terakhir, sebelumnnya kamu selalu berada di perinkat
1-3. Kamu hanya perlu belajar, nilaimu akan kembali seperti semula.”
“Saya tetap nggak bisa, Pak. Terima kasih,”
jawabku dan meninggalkan guruku.
Aku yakin tak akan pernah mendapatkan nilai tinggi
lagi. Aku sudah memutuskan tidak akan pernah belajar lagi kecuali untuk
pelajaran yang kusukai. Aku tak peduli nilai dan penialain orang lain. Aku
hanya ingin duduk di kursi penonton. Menyaksikan teman-temanku berjuang
mengikuti lomba. Aku akan bertepuk tangan jika mereka berhasil dan mengucapkan
kata sabar saat mereka kalah. Aku tak tertarik dan tidak pernah tertarik menjadi
pemeran dalam lakon ini.
# # #
Memasuki kuliah semester tujuh, seorang dosen
memberikan wejangan di pertemuan pertama kuliah. “Jika kalian ingin menjadi
luar biasa, maka usaha kalian harus luar biasa. Karena sebentar lagi kalian
lulus dan menghadapi dunia kerja, kalian harus membiasakan diri berpenampilan
rapi. Yang laki-laki, memakai kemeja dan sepatu pantopel. Perempuan juga
memakai baju layak kerja,” katanya sambil menutup perkuliahan yang hanya
berlangsung lima menit.
Di pertemuan kedua dan seterusnya,
teman-temanku menuruti permintaan dosen tersebut. beberapa teman cowok
memangkas habis rambutnya. Menggunakan kemeja dan sepatu pantopel, bahkan ada
yang menggunakan celana bahan. Aku... tetap seperti biasa. Menguncir tambutku
yang gondrong, menggunakan kaus yang warnanya telah memudar dan celana jeans
belel dengan robekan di beberapa bagian. Alas kakiku sandal jepit mereka
swallow.
“Di kelas ini, cuma kamu yang penampilan
masih berantakan. Lihat teman-teman kamu. Kamu nggak serius sama hidup,” tegur
dosen kepadaku.
“Nggak ada yang luar biasa kalau semuanya
luar biasa. Harus ada yang biasa-biasa aja untuk menjadikan orang lain luar
biasa. Saya memilih menjadi biasa agar teman-teman saya terlihat luar biasa.”
Jawabku.
Mendengar jawaban itu, dosen langsung pergi.
Dia tidak berkata apa-apa, tidak menanggapi atau mengusirku keluar dari
kelas-diusir dari kelas bukan hal baru buatku. Di akhir perkuliahan, hanya aku
satu-satunya yang mendapat nilai C, selebihnya mendapat A. Barangkali mudah
menjadi penjilat. Menuruti permintaan dosen yang tidak sesuai dengan mata
kuliah hanya untuk mendapatkan nilai A. Aku penonton bukan penjilat.
Barangkali aku salah. Jika kamu berada di
sebuah perkumpulan dan hanya kamu satu-satunya yang berbeda, berarti kamu yang
salah. Objektif adalah subjektif kolektif.
# # #
Keadaan tak berubah sejak lulus kuliah. Aku
tetap menjalani hal-hal yang kusukai. Berpindah dari satu tempat kerja ke
tempat lainnya. Bukan perkara nyaman atau tidak nyaman tetapi hanya ingin. Tidak
bolehkan seseorang melakukan sesuatu hanya berasalan ingin.
Belakangan, ada rasa aneh yang menjalari
tubuhku. Perasaaan kalah. Perasaan yang seharusnya hanya dimiliki para pejuang.
Perasaan yang tidak seharusnya tidak dirasakan oleh penonton sepertiku.
“Jangan kecewa sama hidup. Ini medan
pertempuran, kamu tak bisa selamanya hanya duduk dan menonton. Kamu harus
berjuang meski tidak semua peperangan dapat kamu menangkan. Saat kamu kalah dan
terluka, diamlah sejenak. Obati lukamu, pelajari kesalahanmu. Asah pedangmu dan
mulailah peperangan baru...
. . . Kamu tak perlu malu jika kamu kalah.
Sebuah kegagalan adalah hal wajar yang djumpai semua orang. Kamu harus malu
jika kamu tak pernah mencoba. Berhentilah menjadi penonton dan ambilan sebuah
peran!” kata bapak sambil menepuk bahuku.
Selama 15 tahun, bapak tak pernah berbicara
sepanjang ini. Kalimat-kalimat yang dia keluarkan biasanya hanya beberapa kata.
Hari ini, dia berbicara begitu banyak.
“Tuhan pemain atau penonton?” tanyaku.
“Kamu tak perlu merisaukan tuhan. Tuhan punya
cara yang tidak pernah kita mengerti. Tuhan tidak membela kita karena keinginan
dan desakan kita tetapi karena Dia ingin melakukannya. Berhentilah membuang
waktumu hanya untuk mengutuki tuhan. Percuma. Sia-sia. Lakukan yang terbaik dan
biarkan tuhan bekerja dengan caranya sendiri.”
Aku memandang langit sore, warnanya yang
serupa jeruk matang mulai memudar ditelan gelap. Bapak sudah masuk ke dalam
rumah. Suara Azan berkumandang dari pengeras suara. Angin berhembus pelan,
menerbangkan beberapa helai daun yang jatuh dari pohon. Aku belum memutuskan,
menjadi penonton atau mengambil peran dalam sebuah pertempuran hidup.
0 comments:
Posting Komentar