gambar dipinjam dari sini
“Aku belajar melepas. Belajar menerima kehilangan. Aku tak tahu bagaimana  mengobatinya, dia bukan serupa luka setelah mengalami kecelakaan yang dapat diberi obat merah lalu diperban. Aku tak bisa menyentuhnya, mendeskripsikannya saja aku tak mampu. Aku ingin berpura-pura lupa, membiarkannya hilang perlahan. Namun, rasa sakit itu ada. Nyata.”
Aku membaca berkali-kali pesan singkat dari temanku. Mencoba menemukan kata yang pas untuk menjawab pesan singkatnya. Namun, seberapa keras pun aku berpikir, aku tak juga menemukan jawaban.




“Kau lihat seorang pria dan wanita di meja sana, sungguh menyedihkan mereka.” Kata seorang pria pada kekasihnya.
“Iya. Ada yang salah dengan mereka?” tanya kekasihnya.  
“Duduk berhadapan, tidak ada percakapan. Keduanya sibuk dengan telepon genggam. Apa jadinya dunia jika manusia lupa cara untuk saling menyapa dan berbicara.”
“Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing atau sedang bertengkar. Kita tidak tahu apa yang mereka pikirkan,” jawab kekasihnya.
Si pria meletakkan tangan kanannya di punggung tangan kekasihnya. Menggenggam erat lalu perlahan dikendurkannya genggaman itu. “Akan kuceritakan sebuah kisah,” kata lelaki itu sambil menarik napas dan perlahan menghembuskannya. Dia pun mulai berkisah, tentang seorang prajurit yang dikutuk menjadi awan karena telah membunuh rajanya. Prajurit itu mencintai permaisuri, begitu pun permaisuri raja, dia amat mencintai prajurit tersebut. “Dia prajurit yang tangguh,” kata pria itu meyakinkan kekasihnya.