Pesan Ibu di Hari Raya


Nak, manusia yang besar, bukan hanya mereka yang menggenggam kemewahan hidup. Kamu benar, di negeri ini, kekayaan membuat orang menjadi terpandang dan kemiskinan hanya membuat orang lain enggan menatap wajah orang lain meski hanya menggunakan sebelah matanya. Tapi, Nak, jika kau tak memiliki harta berlimpah, bukan berarti kamu kecil di hadapan manusia-manusia.
Kakekmu hanya seorang guru agama miskin. Mengajar ngaji di kampung tanpa memungut biaya sepeser pun dari murid-muridnya. Dia disegani banyak orang, bahkan setelah wafat berpuluh-puluh tahun, rasa hormat warga tidak memudar, kehormatan itu terus mengalir ke keluarga kita. Uwakmu meneruskan jejak kakekmu, menjadi guru ngaji dan disegani, begitu pun bapakmu. Meski hanya seorang ustad kampung, dia dihormati banyak orang.
Nak, kelak, jika kamu memiliki kekayaan, kuharap, bukan itu yang membuatmu dihormati banyak orang tapi sikapmu pada orang lain. Kebaikan dan kemurahan hatimu pada sesama. Kamu pernah merasakan tak ada lauk pauk menjelang hari raya, mengenakan pakaian yang sama selama bertahun-tahun, warnanya telah memudar dimakan usia. Maka, berilah sedikit kebahagiaan pada mereka agar mereka terhibur di hari raya. 
Nak, belajar memaafkan agar hatimu lapang. Bukan untuk orang lain, tetapi untuk dirimu sendiri. Memaafkan tidak membuat orang yang melukaimu merasa lebih baik, tetapi membuatmu merasa lebih baik. 
Ibu tahu, kamu lelaki pendendam. Kamu marah pada dunia. Di matamu yang menyimpan luka, bara kemarahan sering menyala di sana, siap membakar siapa saja, apa saja. Ibu merindukan matamu yang teduh. Mata bocah baik hati, mata  lelaki yang mengalirkan kasih sayang. Kamu harus ingat, satu musuh, satu orang yang kaubenci terlalu banyak untuk dunia fana ini. Jangan bebani hidupmu untuk membenci orang lain. 
Nak, jangan terbebani dengan pertanyaan ‘kapan menikah’ dari banyak orang. Mereka tak benar-benar mengenalmu, tak benar-benar tahu kondisimu. Orang-orang terdekatmu memahami keputusanmu. Ibu, bapak, dan kakakmu tidak bertanya, bukan kami tidak ingin kau segera membangun rumah tangga tapi kami memahami kondisimu.
Kamu anak paling pendiam di rumah, kamu menyimpan bebanmu seorang diri. Sejak kau bekerja sambil kuliah, ibu tidak pernah mendengarmu mengeluh. Ibu tahu, beban yang pikul berat meski kau tidak pernah mengatakannya. Guratan wajahmu terbaca jelas olehku. Hatiku selalu tahu kondisi anakku.
Nak, kesedihan bukanlah sesuatu yang bisa kauhabiskan seorang diri. Bagi bebanmu pada orang yang kaupercaya.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar