Kota ini
persis seperti yang dituliskan para travel blogger, macet di akhir
pekan, kafe-kafe dipenuhi manusia-manusia. Jika waktumu agak senggang sebaiknya
sempatkan dirimu browsing mencari tepat makan atau kedai yang menawarkan
aroma kesunyian, tidak bising suara kendaraan meski letaknya agak jauh dari
pusat kota.
Aku mengecek
telepon genggamku, yang kuterima hanya pesan yang dikirimkan provider yang
berisikan promo atau mengabarkan jumlah paket data yang sebentar lagi habis. Tidak
ada pesan balasan darinya. Sudah berjam-jam lalu kukirimkan pesan kepadanya
yang mengabarkan aku sedang berada di kotanya. Aku menghubungi dua nomor
telepon genggamnya, tak juga mendapat jawaban dan membuatku berakhir di sini,
di sebuah mini market yang menjajakan dua meja dan empat kursi di depan toko
dan secangkir kopi kemasan.
Sekumpulan awan
hitam mulai memenuhi langit, gelap, pekat, padahal sore masih panjang. Tidak nampak
sebulat jeruk matang di barat, hanya mendung yang membuatku terlihat semakin
murung. Aku mulai bisa menebak bagaimana cerita ini akan berakhir. Sedari awal
aku sadar, peluangku tak besar, tapi jika aku hanya memiliki peluang satu
persen pun, aku tak akan mundur. Aku mungkin akan kalah, tapi aku tak berniat
menyerah.
“Kamu di
sini? Di kotaku?” tanyanya.
“Iya. Kamu
di mana?”
“Ngapain?”
tanyanya lagi tanpa mengindahkan pertanyaanku.
Aku bisa
membuat seribu alasan dan mengatakan ada pekerjaan yang mengharuskanku
mendatangi kotanya. Dia pasti mudah menerimanya mengingat pekerjaanku yang
singgah dari satu kota ke kota lainnya untuk mewawancarai narusumber. Tapi aku
tak suka membuat alasan dan tak berniat berbohong. Sedari awal aku ingin dia tahu,
kedatanganku untuk menemuinya, mempertanyakan hubungan kami, menanyakan
peluangku untuk bersamanya lagi.
“Menemuimu,”
balasku.
Tidak ada
pesan balasan darinya dan kopi di gelasku telah berkurang separuh, mendingin
dihajar udara kota yang mulai tak bersahabat. Rintik telah jatuh, hatiku telah retak
di beberapa bagian. Aku ingin tahu bagaimana cerita ini akan berakhir, akankah
dia membawa perban untuk membalut retakan-retakan kecil di hatiku atau membuatnya
semakin retak lalu pecah berantakan.
Jubah hitam
malam telah menutupi garis bumi beberapa saat lalu. Tak terlihat benar karena
awan hitam terus bertengger di sana. Aku mulai mempertanyakan kewarasanku,
menempuh puluhan, bukan, seratus lebih kilometer untuk bertemu dengan seseorang
yang mungkin sudah tidak menginginkanku lagi. Tapi cinta terkadang membuat
seseorang tak waras, begitu caraku menyelamatkan diri dari jurang keputusasaan.
Meski belakangan aku tahu, itu hanya
kalimat sampah untuk menghibur diriku sendiri.
Aku membeli
secangkir kopi lagi dan sebungkus rokok. Tiga jam berlalu dan pesan balasan tak
juga mendarat di kotak pesanku. Aku mulai menimbang-nimbang, bertahan satu
malam dan pulang keesokan hari atau pulang malam ini juga. Sudah tidak ada
alasan bagiku bertahan. Apa yang bisa kuharapkan dari seseorang yang bahkan tak
membalas pesanku.
Layar
ponselku berkedip, menampilkan satu pesan darinya. “Kamu ngapain ke kotaku?” pertanyaan
yang sama untuk kali kedua. Jawabanku masih sama dengan sebelumnya. “Menemuimu,”
balasku. Ada jeda cukup panjang sebelum layar teleponku kembali berkedip.
“Aku habis
nonton, baru sempat balas,” jawabnya. “Aku merasa dikuntit,” tambahnya lagi.
Aku tak
membalas pesannya, dia tak mungkin mengharapkan pesan balasan dari seorang yang
dituduhnya penguntit.
Akhir cerita
ini semakin jelas, sejelas dengan siapa dia menghabiskan waktunya. Seterang
bagaimana dia bercerita tentang temannya, mata yang berbinar dan bercahaya. Temannya,
membuatnya bercahaya.
Aku seperti
Tio - karakter dalam cerpen Sikat Gigi karangan Dee – yang memilih buta dan
mencintai Egi bukan hanya dengan logika dan rasio. Mencintainya di luar akal,
meski dia mencintai orang lain. Bedanya, Tio dan Egi bersama, memutuskan
menawarkan kesempatan dan cinta setiap harinya.
0 comments:
Posting Komentar