107



Aku berdiri di depan rumahmu, berjinjit memencet bel di ujung beton tempat besi-besi menancap, memagari rumahmu. Degup jantung yang lebih cepat, keringat dingin membasahi kausku. Gemetar jemari yang mengepal di besi yang warna catnya telah memudar, memunculkan karat di banyak sisi. Kudengar derit pintu bergeser pelan, cahaya dalam rumah memantulkan bayangan  memanjang melewati celah pintu, tipis, dan sulit ditebak.
Perlahan pintu terbuka, lebar, pelan, tanda kehati-hatian. Langkahmu serupa angin malam, berhembus pelan tanpa meninggalkan gaduh, hanya bisik lembut. Berdiri di depan pagar, mematung, menatapku. Tatapan yang menusuk mataku, masuk ke dalamnya, bersembunyi di jantung dan hati, berharap tak pergi lagi.
Kamu menyentuh tanganku, keringat masih menempel di sana dan getarnya belum berhenti. Usapan lembut pada punggung tangan meredakan kegelisahan dan ketakutan dan kesedihan, berganti bahagia, juga harap, juga senyum yang sejak lama hilang dari bibirku dan direnggut paksa dari bibirmu.
Kita bicara mengenai cuaca, pekerjaan yang melelahkan, tulisan-tulisan yang semakin jarang ditampilkan, penjual mie ayam di dekat pohon rindang, tentang luka-luka yang perlahan menggerogoti hidup kita. Ia memakan harap, mengambil bahagia. Lalu kita bicara mengenai mimpi-mimpi, rumah kecil di dekat sawah, kamu ingin menuai bersama petani ketika masa penen tiba. Memandikan sapi, memeras susu, semua-semua asal bersamaku dan semua-semua asal bersamamu.
Cahaya dalam rumah memantulkan bayang seseorang melalui celah pintu yang sengaja kamu biarkan terbuka. Langkah berat, perlahan, terdengar derit dari pintu yang digeser kasar. Tatapan cemas matamu mengisyaratkan kepadaku, sudah waktunya pergi. Kecup dari celah pagar yang tak tuntas, genggaman tangan yang harus terlepas. Kesedihan mulai merambat di hati. Kita hanya perlu sendiri-sendiri, sementara waktu hingga kita dapat bersama dan tak ada yang bisa memisahkan kita.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar