Aku berdiri di depan rumahmu, berjinjit memencet bel di ujung beton tempat
besi-besi menancap, memagari rumahmu. Degup jantung yang lebih cepat, keringat
dingin membasahi kausku. Gemetar jemari yang mengepal di besi yang warna catnya
telah memudar, memunculkan karat di banyak sisi. Kudengar derit pintu bergeser
pelan, cahaya dalam rumah memantulkan bayangan memanjang melewati celah pintu, tipis, dan
sulit ditebak.
Perlahan pintu
terbuka, lebar, pelan, tanda kehati-hatian. Langkahmu serupa angin malam,
berhembus pelan tanpa meninggalkan gaduh, hanya bisik lembut. Berdiri di depan
pagar, mematung, menatapku. Tatapan yang menusuk mataku, masuk ke dalamnya,
bersembunyi di jantung dan hati, berharap tak pergi lagi.
Kamu menyentuh
tanganku, keringat masih menempel di sana dan getarnya belum berhenti. Usapan
lembut pada punggung tangan meredakan kegelisahan dan ketakutan dan kesedihan,
berganti bahagia, juga harap, juga senyum yang sejak lama hilang dari bibirku
dan direnggut paksa dari bibirmu.
Kita bicara
mengenai cuaca, pekerjaan yang melelahkan, tulisan-tulisan yang semakin jarang
ditampilkan, penjual mie ayam di dekat pohon rindang, tentang luka-luka yang
perlahan menggerogoti hidup kita. Ia memakan harap, mengambil bahagia. Lalu
kita bicara mengenai mimpi-mimpi, rumah kecil di dekat sawah, kamu ingin menuai
bersama petani ketika masa penen tiba. Memandikan sapi, memeras susu, semua-semua
asal bersamaku dan semua-semua asal bersamamu.
Cahaya dalam
rumah memantulkan bayang seseorang melalui celah pintu yang sengaja kamu
biarkan terbuka. Langkah berat, perlahan, terdengar derit dari pintu yang digeser
kasar. Tatapan cemas matamu mengisyaratkan kepadaku, sudah waktunya pergi. Kecup
dari celah pagar yang tak tuntas, genggaman tangan yang harus terlepas. Kesedihan
mulai merambat di hati. Kita hanya perlu sendiri-sendiri, sementara waktu
hingga kita dapat bersama dan tak ada yang bisa memisahkan kita.
0 comments:
Posting Komentar