Aku harus menulis
sebab sebentar lagi bumi hancur dan mengubur siapa saja yang hidup di atasnya.
Hidup-hidup. Aku harus menulis jika ingin abadi, bukanlah salah satu cara
memperpanjang ingatan seseorang tentangmu adalah dengan menulis. Tapi, jika bumi
dan semua-semua yang hidup mati, siapa yang akan membaca tulisanku.
Anggap saja dari tujuh
miliar lebih manusia yang mati - tak perlu kau hitung hewan-hewan dan jenisnya,
tak perlu kau tambahi angka-angka di kepalamu dengan tumbuhan-tumbuhan apalagi meributkan
mana yang masuk golongan buah-buahan atau sayuran, seperti kau selalu
mengingatkan kekasihmu bahwa tomat masuk dalam golongan buah-buahan dan bukan
sayuran meski ia seringkali menjadi pelengkap masakan seperti halnya sayuran
lainnya, tak perlu kau hitung itu – ada satu manusia yang masih hidup. Kupikir
dia tidak akan membaca tulisanku. Dia akan sibuk bertanya-tanya mengapa dunia
tiba-tiba hancur sampai perutnya menjerit minta diisi.
Dia akan mengumpulkan
fakta-fakta, menganalisa, lalu mencari makan untuk memenuhi perutnya dan
membantunya berpikir. Bahkan jika kebutuhannya telah terpenuhi, kupikir dia
tidak akan membaca tulisanku sebab tulisanku dimuat di blogspot. Internet mati,
komputer hancur, pembuatnya ikut terkubur, dan jika ia memaksakan dirinya
merakit komputer, menghidupkan jaringan internet seorang diri, ia kan memilih
membuka media sosial. Menceritakan hidupnya hingga jarinya pegal, mengumpat
sepuasnya. Tak lupa memajang fotonya di atas puing-puing bangunan yang roboh.
Pertanyaan itu
mengambil waktuku menulis. Jika kecepatanku menulis rata-rata satu paragraf
dalam dua menit, aku telah kehilangan lima belas paragaraf hanya untuk
memikirkan siapa mau membaca tulisanku. Dan jika sebatang rokok mild habis
dalam delapan menit, aku telah menghabiskan tiga batang rokok dengan jeda dua
menit sebelum menyulut rokok baru. Sialan betul memang. Harusnya tak kupirkan
bagian remeh ini.
Kusulut batang
keempat, sialnya kepalaku malah mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Barangkali,
setan yang bosan karena kehilangan pekerjaan yang sudah diwariskan
turun-temurun dari sebelum diciptakannya Adam dan Hawa akan membaca tulisanku.
Kubayangkan sekelompok anak-anak setan sedang duduk dan membanggakan pekerjaan
orang tua mereka.
“Ayahku berhasil
menggoda pejabat-pejabat di pemerintahan untuk korupsi,”
“Apa hebatnya. Ayahku
berhasil menggoda mereka korupsi, menyuruhnya kawin lagi. keluarganya barantakan
dan masuk penjara. Semoga saja tidak tobat di dalam sana,” timpal setan lain.
“Ayahku menyuruh
atasannya si komandan setan untuk solat dan ia tak mau,” katanya bangga.
Menggoda manusia
pekerjaan turun-temurun yang menjadi kebanggan para setan. Tapi Manusia telah
mati, setan tak lagi bisa merisak keturunan Adam. Menggoda sesama setan tentu
tak menarik, menggoda dengan menyuruh temannya beribadah lebih tak masuk akal
lagi. Tapi jika setan rajin beribadah
setidaknya ada yang bisa digoda untuk meninggalkan ibadah. Ide tolol ini sempat
terpikir, namun diurungkan. Pelarian saat dirimu begitu bosan Adalah membaca,
mungkin setan akan membaca tulisanku
Malaikat yang
tiba-tiba kedatangan seisi dunia tentu tak sempat membaca tulisanku. Bayangkan,
terdapat tujuh miliar lebih manusia yang harus dihitung amal dan perbuatannya.
Ditimbang amal baik dan buruknya dan melakukan serangkai tes keimanan untuk
kemudian ditentukan masuk surga atau neraka. Betapa lama waktu yang dihabiskan
untuk mengerjakan pekerjaan ini. Ini belum termasuk proses penyucian dari dosa
yang katanya sehari di dunia seperti setahun di alam sana.
Rokokku telah habis.
Gelas di samping kananku hanya menyisakkan ampas kopi di dasarnya. Aku belum
menemukan siapa yang akan membaca tulisanku selain setan-setan yang bosan. Itu pun
jika mereka baca.
Aku harus pergi ke
warung membeli rokok. Menjerang air dan membuat secangkir kopi lagi. Setelah
itu aku akan menulis dan meminta kepada Tuhan agar menunda menghancurkan bumi
sebab tulisanku belum selesai.
0 comments:
Posting Komentar