Dia mengatakan padaku, suatu hari nanti, dia ingin pulang ke laut. Bukan seperti para turis yang sedang berlibur, menjemur tubuh di pasir putih, dan menyelam beberapa saat lalu kembali pulang dengan kulit terbakar kecokelatan. Dia ingin pulang, seperti seseorang yang telah pergi jauh bermil-mil dari rumah, menghabiskan usianya menjajaki tempat-tempat baru, melakukan hal-hal yang diinginkan. Menahan rindu pada setiap perjalanan. Menjalin hubungan dengan beberapa orang, menetapkan hati pada satu pria. Lalu kembali pulang dan menghabiskan sisa hidupnya di sana.
Laut selalu memanggilku pulang, menawarkan pelukan, aku ingin memeluknya selamanya dan dipeluknya selamanya, katanya.
Kupikir dia hanya rindu pantai. Dia membutuhkan asupan vitamin sea yang memicu hormon erdorphin memenuhi tubuhnya dan membuatnya bahagia. Terjebak di dalam kubikel 40 jam selama lima hari dan melanjutkan pekerjaan sampingannya di akhir pekan tentu membuatnya jenuh. Dia ingin melarikan diri sejenak dari rutinitas yang melelahkan. Sejenak, karena dia tahu, ada kebutuhan hidup yang harus dia penuhi dan berdiam diri di pantai tidak akan membuat semua kebutuhan hidupnya terpenuhi. Orang lain mungkin bisa, tapi dia tidak. Dia tidak memiliki kemewahan semacam itu.
Aku berjanji akan mengantarnya pulang, membawa beberapa potong roti yang akan dia hancurkan untuk memanggil sekawanan ikan untuk menemaninya berenang. Kusarankan dia menabung untuk membeli kamera under water agar dapat mengabadikan kepulangannya. Kamu harus mencetaknya besar-besar dan memajangnya di kamarmu. Jika kamu rindu laut, kamu bisa menatapnya lekat-lekat, kataku dan dibalasnya dengan senyuman.
Senyuman yang indah dan membuat wajah pucatnya merona. Aku lupa kapan terakhir kali melihatnya tersenyum bahagia seperti itu. Aku sering melihatnya tersenyum, senyum yang dipaksakan. Senyum kepura-puraan hanya untuk membungkam pertanyaan dari orang-orang. Senyumnya yang berlangsung beberapa detik itu seakan meniadakan kantung yang tebal dan menghitam yang menggelayut di matanya. Tulang pipinya yang terlihat semakin jelas menunjukkan dirinya tak baik-baik saja. Kamu akan tahu itu semua jika kamu mengenalnya seperti aku mengenalnya.
Beberapa hari lalu dia mengirimkan pesan singkat kepadaku, jika tugasku sudah selesai, temani aku ke laut. Aku ingin pulang, tulisnya dalam pesan singkat.
Menemaninya ke laut bukan perkara sulit bagiku. Aku selalu menemukan alasan untuk bersamanya, bahkan ketika hari-hariku dipenuhi seabreg pekerjaan. Tapi itu dulu, saat aku dan dia masih bersama. Saat aku dan dia masih ingin menuliskan banyak cerita berdua dan berjanji mencipta bahagia. Mengumpulkan momen-momen bahagia bersama. Tapi semua berbeda ketika dia memutuskan berjalan sendiri dan menemukan pelabuhan baru bagi hatinya.
Cerita kita berhenti sampai di sana. Plot-plot yang kita buat tak menempatkan kita sebagai sepasang yang berjalan beriringan. Aku dan dia memulai menulis cerita tanpa melibatkan kita lagi di dalamnya.
Beberapa hari belakangan aku memikirkan beragam jawaban yang berujung pada satu kesimpulan: aku akan menemaninya pulang ke laut, rumah yang dia impikan. Aku tidak sedang merencanakan sebuah kejahatan, aku tidak berniat merebutnya dari kekasihnya. Aku hanya ingin melihat senyumnya. Sekali saja, sekali lagi. Aku ingin melihat wajah bahagianya karena aku menyayanginya meski tak lagi bersama.   
Dan jawaban yang sudah kusiapkan urung kukirimkan, terhalang satu panggilan telepon dari mamanya yang memintaku datang ke rumahnya.
Rumahnya masih sama, sepi, namun kali ini terasa lebih sepi dan lebih lengang dari sebelumnya. Ada secangkir kopi dan sebuah amplop berwarna gading tergeletak di atas meja, namaku tertulis di sana. Mamanya memintaku membacanya setelah menyuruhku meminum kopi yang sudah dibuatkannya. Mamanya duduk di hadapanku, menatapku, menungguku membaca tulisan tangannya di selembar kertas.
Ini permintaan terakhirku, setelah ini aku berjanji tak akan meminta apa-apa lagi darimu. Antarkan aku pulang. Ke laut. Rumah yang aku rindukan.
Kesayangan kamu,
Mamanya pergi dan kembali ke hadapanku membawa gucci berisi abu. Menyerahkannya kepadaku. Kutatap wajah mamanya, buram, selapis bening tipis di mataku pecah, menghalangi pandanganku. Tetesan hangat mengaliri pipiku. Harusnya aku tahu, harusnya aku mengerti, kepulangannya kali ini, sebenar-benarnya pulang. Dia ingin menetap selamanya di sana.



Dalam hening kita berbicara, tentang amarah yang reda, berbutir-butir air yang pecah di pipi, satu yang tersisa di ujung mata dan biar aku yang menghapusnya. Dalam diam kita berbicara, tentang peluk yang menghapus jarak, jemari yang saling mengisi. Lelah dan merebah, berharap terpejam tanpa membawa luka-luka.
Kata-kata telah selesai bekerja, ia berhenti ketika tangismu pecah. Ia memainkan peran saat suaramu meninggi, suaraku tak kalah mengungguli. Kata-kata telah lelah bekerja, pada secarik kertas yang berisikan tulisan penuh permainan yang tak mengungkap sebenarnya perasaan. Pada kicauan di media sosial, pada halaman-halaman diary digital. Ia ingin cuti darimu, dariku, dan memilih bisu.
Dalam hening kita berbicara, tentang cinta yang tak mampu diwakili kata-kata.



Kota ini persis seperti yang dituliskan para travel blogger, macet di akhir pekan, kafe-kafe dipenuhi manusia-manusia. Jika waktumu agak senggang sebaiknya sempatkan dirimu browsing mencari tepat makan atau kedai yang menawarkan aroma kesunyian, tidak bising suara kendaraan meski letaknya agak jauh dari pusat kota.
Aku mengecek telepon genggamku, yang kuterima hanya pesan yang dikirimkan provider yang berisikan promo atau mengabarkan jumlah paket data yang sebentar lagi habis. Tidak ada pesan balasan darinya. Sudah berjam-jam lalu kukirimkan pesan kepadanya yang mengabarkan aku sedang berada di kotanya. Aku menghubungi dua nomor telepon genggamnya, tak juga mendapat jawaban dan membuatku berakhir di sini, di sebuah mini market yang menjajakan dua meja dan empat kursi di depan toko dan secangkir kopi kemasan.
Sekumpulan awan hitam mulai memenuhi langit, gelap, pekat, padahal sore masih panjang. Tidak nampak sebulat jeruk matang di barat, hanya mendung yang membuatku terlihat semakin murung. Aku mulai bisa menebak bagaimana cerita ini akan berakhir. Sedari awal aku sadar, peluangku tak besar, tapi jika aku hanya memiliki peluang satu persen pun, aku tak akan mundur. Aku mungkin akan kalah, tapi aku tak berniat menyerah.
“Kamu di sini? Di kotaku?” tanyanya.
“Iya. Kamu di mana?”
“Ngapain?” tanyanya lagi tanpa mengindahkan pertanyaanku.
Aku bisa membuat seribu alasan dan mengatakan ada pekerjaan yang mengharuskanku mendatangi kotanya. Dia pasti mudah menerimanya mengingat pekerjaanku yang singgah dari satu kota ke kota lainnya untuk mewawancarai narusumber. Tapi aku tak suka membuat alasan dan tak berniat berbohong. Sedari awal aku ingin dia tahu, kedatanganku untuk menemuinya, mempertanyakan hubungan kami, menanyakan peluangku untuk bersamanya lagi.
“Menemuimu,” balasku.
Tidak ada pesan balasan darinya dan kopi di gelasku telah berkurang separuh, mendingin dihajar udara kota yang mulai tak bersahabat. Rintik telah jatuh, hatiku telah retak di beberapa bagian. Aku ingin tahu bagaimana cerita ini akan berakhir, akankah dia membawa perban untuk membalut retakan-retakan kecil di hatiku atau membuatnya semakin retak lalu pecah berantakan.
Jubah hitam malam telah menutupi garis bumi beberapa saat lalu. Tak terlihat benar karena awan hitam terus bertengger di sana. Aku mulai mempertanyakan kewarasanku, menempuh puluhan, bukan, seratus lebih kilometer untuk bertemu dengan seseorang yang mungkin sudah tidak menginginkanku lagi. Tapi cinta terkadang membuat seseorang tak waras, begitu caraku menyelamatkan diri dari jurang keputusasaan. Meski  belakangan aku tahu, itu hanya kalimat sampah untuk menghibur diriku sendiri.
Aku membeli secangkir kopi lagi dan sebungkus rokok. Tiga jam berlalu dan pesan balasan tak juga mendarat di kotak pesanku. Aku mulai menimbang-nimbang, bertahan satu malam dan pulang keesokan hari atau pulang malam ini juga. Sudah tidak ada alasan bagiku bertahan. Apa yang bisa kuharapkan dari seseorang yang bahkan tak membalas pesanku.
Layar ponselku berkedip, menampilkan satu pesan darinya. “Kamu ngapain ke kotaku?” pertanyaan yang sama untuk kali kedua. Jawabanku masih sama dengan sebelumnya. “Menemuimu,” balasku. Ada jeda cukup panjang sebelum layar teleponku kembali berkedip.
“Aku habis nonton, baru sempat balas,” jawabnya. “Aku merasa dikuntit,” tambahnya lagi.
Aku tak membalas pesannya, dia tak mungkin mengharapkan pesan balasan dari seorang yang dituduhnya penguntit.
Akhir cerita ini semakin jelas, sejelas dengan siapa dia menghabiskan waktunya. Seterang bagaimana dia bercerita tentang temannya, mata yang berbinar dan bercahaya. Temannya, membuatnya bercahaya.
Aku seperti Tio - karakter dalam cerpen Sikat Gigi karangan Dee – yang memilih buta dan mencintai Egi bukan hanya dengan logika dan rasio. Mencintainya di luar akal, meski dia mencintai orang lain. Bedanya, Tio dan Egi bersama, memutuskan menawarkan kesempatan dan cinta setiap harinya.