“Aku ingin
dimakamkan di dekat taman buah. Ketika kau mengunjungiku, kau seperti sedang
piknik, bukan mengantar tangis dan kata-kata yang tak lagi mampu kujawab.”
Tiap kali
memikirkanmu, aku menyelipkan satu harapan. Seperti surat kecil yang ditulis
Saajan Fernandes kepada Ila yang diselipkan di kotak makan siang, ia bercerita,
ketika istrinya meninggal, ia mendapat makam horizontal. Aku ingin
membeli tempat untuk kuburanku dan mereka menawariku makam vertikal. Aku
telah berdiri di bus dan kereta sekian lama selama hidupku, bahkan aku juga
harus berdiri ketika mati nanti, tulisnya. Tentu saja, harapanku tak seperti
Fernandes yang ingin dimakamkan secara horizontal tepat di sisi istrinya.
Aku berharap
jasadmu dikremasi.
Lalu aku
pergi mengunjungi satu tempat kesukaanmu, laut yang tenang kehijauan,
karang-karang indah yang kamu pandangi ketika menyelam. Sepotong roti yang kamu
bawa untuk kamu hancurkan, mengundang ikan-ikan datang, mengerubutimu. Kamu
yang mencintai laut seringkali melupa bahwa tubuhmu telah pucat saking lamanya
berenang di sana. Dan keindahan lainnya yang selalu ingin kamu bagi denganku, termasuk
senja, yang menurutku biasa saja.
Aku ingin
melarung abumu dan semua ingatan tentangmu di sana, tempat kesukaanmu. Pada
laut tempatmu berpulang, aku ingin mengucap selamat tinggal pada kecewa, juga
luka-luka, juga terima kasih untuk setiap momen kebersamaan kita. Lalu berharap
sekembalinya dari perjalanan itu, aku tak lagi merasa sedih setiap kali
mengingat kematianmu. Tapi aku sadar, tak ada yang benar-benar hilang dan
terhapus.
Karena musim
membawa ingatan yang tak pernah benar-benar terhapus ke tempat tidurku.
Dan seperti
harap-harap yang mati, harap yang lain kembali bertunas. Aku bahagia harapanku
tak tercapai. Kini, tiap kali memikirkanmu, aku menyelipkan satu harapan,
semoga kamu tenang di sana, di hamparan ruput, dekat taman buah, tempatmu
beristirahat.
Aku akan mengunjungimu
dalam waktu dekat.