“Aku ingin dimakamkan di dekat taman buah. Ketika kau mengunjungiku, kau seperti sedang piknik, bukan mengantar tangis dan kata-kata yang tak lagi mampu kujawab.” Tiap kali memikirkanmu, aku menyelipkan satu harapan. Seperti surat kecil yang ditulis Saajan Fernandes kepada Ila yang diselipkan di kotak makan siang, ia bercerita, ketika istrinya meninggal, ia mendapat makam horizontal. Aku ingin membeli tempat untuk kuburanku dan mereka menawariku makam vertikal. Aku telah berdiri di bus dan kereta sekian lama selama hidupku, bahkan aku juga harus berdiri ketika mati nanti, tulisnya. Tentu [.....]
Seharusnya senja sebentar saja, seperti hari-hari yang biasa. Warna langit yang serupa jeruk matang hanya indah jika ditatap sebentar saja, jika terlalu lama ia menjadi biasa saja, seperti siang yang terik atau malam panjang tanpa bintang atau malam purnama yang ditutupi awan mendung. Tapi hari ini menjadi pengecualian; senja bertahan lebih lama, entah karena apa atau ditujukan untuk siapa. Dan senja yang tak biasa ini membuatku cemas, akankah muncul keajaiban-keajaiban atau kesialan, bagiku, tak bisa kubedakan keduanya ketika seseorang dari masa lalu datang membawa seikat bunga, menghampiriku. Duduk [.....]
aku tidak akan mendoakan semoga kau panjang umur, kawan, karena tidak semua manusia suka berumur panjang. pun juga bahagia. bahagia seperti kembang api, menggelegar, memuncah di dadamu, lalu kosong, setelahnya hanya hampa. sedang kau, kau ingin seperti danau, tak berombak, tak bergelombang. tersembunyi di hutan yang belum terjamah manusia, danau yang sepi, kau yang memilih sunyi. hari-hari berlalu begitu cepat. hari-hari bergerak begitu lambat. kau mengulang tanggal lahirmu. dan hidup menghadirkan begitu banyak tanda tanya, yang mungkin tidak pernah bisa kau jawab sepenuhnya. tapi, teruslah hidup, [.....]