Seharusnya senja
sebentar saja, seperti hari-hari yang biasa. Warna langit yang serupa jeruk
matang hanya indah jika ditatap sebentar saja, jika terlalu lama ia menjadi
biasa saja, seperti siang yang terik atau malam panjang tanpa bintang atau
malam purnama yang ditutupi awan mendung. Tapi hari ini menjadi pengecualian;
senja bertahan lebih lama, entah karena apa atau ditujukan untuk siapa.
Dan senja yang tak
biasa ini membuatku cemas, akankah muncul keajaiban-keajaiban atau kesialan,
bagiku, tak bisa kubedakan keduanya ketika seseorang dari masa lalu datang
membawa seikat bunga, menghampiriku. Duduk di sampingku.
"Kamu tak suka
senja, tidak pernah, seperti tak menyukai hujan dan laut. Mereka hanya latar,
bumbu khusus, penambah nikmat untuk kopimu tanpa gula," katanya.
Mata kami bersirobok
saat kupalingkan wajahku, lalu turun ke bibirnya, tempat kata-kata itu meluncur
deras dan tak salah. Tahun-tahun yang panjang, tahun-tahun yang berlalu cepat,
dan ia masih saja mengingat hal-hal kecil itu. Kembali kutatap langit sore itu,
tak ada tanda-tanda jubah malam akan mengambil alih hari lalu menutupi
seluruhnya dengan gelap. Di kepalaku muncul pertanyaan, di bagian bumi lainnya,
entah di negara mana, apakah senja bertahan lebih lama dari biasanya atau ujung
jubah malam mulai menutupi hari.
Manusia-manusia,
sepasang, dua pasang, sendiri, orang tua mematung di hadapan senja itu dengan
tangan memegang telepon genggam. Seorang anak menarik ujung kaus ibunya, anak
lain menarik celana ayahnya, meminta ditemani bermain. Tapi senja yang tak
biasa, yang lebih lama dari sebelumnya membuat mereka terpesona dan ingin
segera memotretnya untuk dibagikan di lini massa.
Tangan-tangan yang sedari
tadi sibuk dengan telepon genggam kini terkulai. Wajah-wajah manusia yang begitu
antusias berubah cemas. Pertanda apakah ini, mungkin begitu pikir mereka. Pun
juga pikirku. Tentang apa semua ini;
senja yang tak biasa dan seseorang dari masa lalu.
"Kamu
menjemputku?" Tanyaku dan jawaban yang kudapat hanya senyuman.
Ia mengikis jarak di antara
kami, menyandarkan kepalanya di pundakku. Seperti dulu-dulu, menemaniku menatap
senja yang tak kamu suka, katanya. Pipiku terasa hangat, lapisan tipis di
mataku pecah juga, mengaliri pipi, jatuh ke bibir. Asin.
"Aku nggak tahu
kamu secengeng ini sekarang," bisiknya.
Aku lebih cengeng lagi
saat kamu pergi, tepatnya, saat kabar itu datang, tiba-tiba. Di satu senja yang
biasa, di tempat yang biasa, aku menunggumu datang, tapi yang datang hanya
suara parau dari sambungan telepon. Di ujung sana, kata-kata seperti sulit sekali
dieja, terbata-bata, begitu lirih, dari ibumu yang mengabarkan kematianmu.
Seorang pengendara
tolol menabrakmu, membuatmu terpental hingga beberapa meter sebelum kepalamu membentur
trotoar. Sebelum kendaraan yang mengantarkanmu tiba di rumah sakit, malaikat
maut telah dahulu menjemputmu.
"Senja itu . . .
senja terakhir, apakah indah?" tanyaku.
"Ya, sangat
indah, kecuali satu hal, kamu tak ada waktu itu."
"Setelah ini,
kita akan melihat senja bersama-sama, sebanyak yang kamu mau."
Ia menggeleng lemah,
seperti isyarat yang mengatakan kepadaku, belum waktunya, belum saatnya. "Teruslah
hidup, sayang," katanya.
Ia bangkit berdiri setelah
menyerahkan seikat bunga yang ia bawa kepadaku. Jubah malam mulai mengambil
hari, senja yang tak biasa berakhir bersama kepergiannya. Ia menghilang
ditelan gelapnya malam.
0 comments:
Posting Komentar