“Aku ingin pergi”
“Kemana?”
“Kamu tau, aku sudah lelah dengan semua ini”
“Bertahanlah, kita hanya butuh waktu untuk memperbaiki semua ini”
“Satu tahun, sudah lebih dari cukup aku menunggu tapi lelah itu tak dapat lagi kubendung dan aku menyerah”
“Apa artinya kita akan sendiri-sendiri?”
“Ya, sebaiknya kita memang tak lagi bersama”
“Maaf”
Kata itu mengantarkanmu pergi dari hidupku, pergi dalam dimensi waktu yang tak terduga. Waktu selalu menyimpan misteri di dalamnya tak ada yang bisa menebak, karena manusia hanya bisa menerka-nerka, mengkalkulasi kenyataan dan harapan tapi kita tak pernah benar-benar tahu, hanya menerka dan berharap. Dan aku menikmati titik-titik kumpulan kejutan ini, dan ketika cerita kita berakhir, itu kejutan yang tak pernah aku harapkan.
# # #
Aku menemukanmu sebagai sahabat beberapa tahun silam, menemukan sisi lain yang tak kutemukan pada orang kebanyakan, termasuk sahabatku. Bersamanya aku membagi dunia nyataku, bercerita tentang cinta, tantang kuliah dan segala tetek bengek kehidupan dan bersamamu aku berbagi dunia personalku, tentang gerimis dan bintang kecil di ufuk timur yang kuberi nama Surriya. Dua dunia yang berbeda dan kutemukan dalam wujud manusia yang berbeda pula.
Ada keanehan yang merasuk dalam jiwaku saat menikmati dunia sendiriku. Semua kosong dan hanya ada aku, semua tak mengerti karena aku sendiri tak mampu menerjemahkannya dalam bahasa manusia. Aku merasa ganjil tapi kamu menggenapkanku dan sejak itu aku percaya bahwa aku bukanlah satu-satunya makluk aneh di palanet bernama bumi. Aku tidak lagi menikmati dunia personalku tapi menggilainya. Kegilaan yang kamu transfer entah lewat mana dan cara apa yang pasti kegilaan itu menjadi ritual yang tak terlewatkan.
Aku mulai membagi diriku menjadi angka-angka persentase, dunia nyataku 70% dan dunia personalku 30%. Aneh memang kedengarannya tapi itulah hidup di ruang massal selalu saja ada tuntutan dan 70% cukup untuk memenuhi tuntutan itu. Tapi apakah hidup mampu dipersentasekan, dibagi menjadi dua kutub yang berbeda, aku sendiri tak yakin mungkin ini cara satu-satunya untuk meyakinkanku.
Persentase itu tak bertahan lama, pembagian 70:30 melorot tajam menjadi 50:50 jadilah aku penghuni tetap dalam dimensi kesendirianku, tuntutan tak menjadi alasan untuk mengilainya. Dan berubahnya angka-angka itu, berubah pula hubungan kita. Aku tak hanya menggilai dunia personalku tapi juga kamu. Kamu dan dunia itu sudah menjadi satu paket utuh, seperti membeli sebuah hadiah dan kamu menjadi kotak tampat hadiah itu bernaung.
Aku mulai menjadi bagian darimu, masuk dalam duniamu, pergaulanmu, berkenalan dengan sahabat-sahabatmu tapi tidak keluargamu. Kata terakhir adalah hal tabu yang dibicarakan setidaknya sejak kita memulainya sebagai sahabat hingga menjadi sepasang manusia aneh kamu selalu terhenti pada kata itu dan aku tak ingin masuk ke arah dimana kamu tak nyaman. Aku mulai memahami sekaligus menikmati terjun dalam dalam duniamu, dunia yang berbalik jauh dengan duniaku.
Beberapa bulan berjalan, hal yang tidak kuinginkan terjadi. Lagi-lagi persentase itu tak bertahan lama, angka 50:50 kini berbanding terbalik menajadi 80:20 jadilah aku makhluk rasional yang mulai mencintai dunia nyata. Dan sejak itu pertengkaran kita dimulai, rentetan pertengkaran menghiasi hubungan kita.
Aku mulai menuntut dicintai secara nyata, dan kamu membiarkannya terus mengalir hingga semua bermuara. Sejak perkenalan kita aku tahu kamu akan selalu begitu, menikmati dunia dengan caramu sendiri meski aku juga tahu kamu mencoba berunah demi aku tapi perubahan itu terasa begitu lamban bahkan aku menganggapnya stagnan.
Aku lelah, dan aku tak melihat kamu bereaksi atau sekedar mencoba menahanku dengan semua alasan yang mungkin tak nyata. Tapi kamu terlalu naïf, membiarkan pasir yang ada di tanganmu tetap terbuka agar tak jatuh di sela-sela jemarimu tapi cinta juga harus dipegang kuat-kuat agar ia tak lari saat ia jenuh dan aku tak melihat itu dalam dirimu.
Dan kemarin adalah akhir.
0 comments:
Posting Komentar