Takut (akan) Sendiri

Suatu kali, ketika sedang istirahat di tengah produksi film untuk tugas akhir mata kuliah produksi televisi, tanpa sengaja mengalir sebuah obrolan antara saya dan teman saya yang saat itu sedang berselonjor dan meneduh di pos satpam dekat lokasi syuting. Tadinya hanya obrolan santai untuk melepas lelah setelah tiga hari maraton menggarap film, tiba-tiba obrolan mengarah ke topik yang serius “poligami”. Saya dikejutkan dengan pertanyaan mengenai poligami, lo penganut faham poligami ya? Saya menjawab “tidak”. Berusaha menegaskan teman saya bertanya lagi, berarti lo benci dong dengan poligami? Lagi-lagi jawaban saya “tidak”. Dahinya mengernyit, alisnya beradu menunjukkan ketidakmengertian, dan tatapannya seolah memaksa saya untuk menjelaskan lebih lanjut.

Serasa diintimidasi, saya pun menjelaskan lebih rinci. Saya bukan penganut paham poligami tapi saya juga tidak membenci orang-orang yang melakukan poligami. Saya lebih suka mendudukkan poligami dalam ranah “cocok atau tidak cocok” bukan dalam ranah “benar atau salah”. Jika kita melandasi perbedaan ini dalam ranah kedua, saya pikir selamanya kita tidak pernah menemukan kata sepakat. Sebagian mengusung poligami atas dasar agama, sebagian lagi mengusung atas nama hukum publik dan nurani. Dua sisi biner ini akan terus mengklaim bahwa dirinya benar dan orang lain salah.

Jika kita melandasi perbedaan ini dalam ranah pertama, permasalahan akan lebih cepat selesai. Apa yang cocok buat saya, belum tentu cocok buat anda dan sebaliknya. Masing-masing dari kita lebih suka berkutat pada hal yang kedua, saling berdebat dan ingin menang dalam perdebatan tersebut. Padahal sulit bagi kita menentukan kadar yang pas untuk cinta. Apakah cinta harus satu, apakah cinta maksimal empat.

Merasa tidak puas dengan jawaban saya yang terdengar filosofis tersebut teman saya lalu bertanya lagi. Kalau nanti lo menikah dan tidak dikarunia anak, apakah itu cukup sebagai alasan untuk lo menikah lagi? sambil berpikir dia meneruskan kembali pertanyaan yang belum sempat saya jawab, atau lo akan mengadofsi anak karena istri lo nggak mampu memberikan keturunan? Saya speechless, nggak tahu harus jawab apa. Untunganya saya terselamatkan oleh panggilan teman-teman yang sudah siap take di lokasi syuting, tanpa pikir panjang saya berjalan meninggalkan teman saya yang masih menunggu jawaban dari saya.

Ketika menuliskan ini, sudah setahun pertanyaan itu terlontar dari mulut teman saya dan saya masih tetap tidak bisa menjawab pertnyaan itu. Kadang saya berpikir bahwa tugas manusia di muka bumi ini berbeda-beda. Ada yang diberi kesempatan untuk menjadi orang tua dan ada yang tidak. Jika kesempatan itu tidak datang pada saya, lalu bagaimana saya menyikapi keadaan ini, apakah saya akan memutuskan berpoligami untuk mendapatkan keturunan atau mengadofsi anak entah dari sanak famili atau panti asuhan. Lagi-lagi saya tidak tahu, terlalu rumit.

Jika saya memutuskan untuk menikah lagi, bukankah saya takut tidak bisa berbuat adil. Dan jika saya menceraikan istri saya, apakah saya sanggup kehilangan dia. Jika seandainya kita tahu bahwa dengan menikahi seeorang yang sekarang menjadi istri kita tidak memperoleh keturunan, mungkin kita akan membatalkan pernikahan ini sebelum semuanya terjadi. Tapi siapa di antara kita yang tahu akan takdir. Lalu bagaimana dengan ide adofsi, ketakutan tidak bisa mencintai anak itu seperti anak sendiri juga muncul dalam hati saya.

Bukankah setiap dari kita takut akan kesendirian. Kepastian akan ditinggal salah satu dari pasangan kita membuat kita berpikir ulang mengenai kehadiran anak. Kesendirian di masa tua membuat kita takut menjalani hidup. Membayangan betapa bahagianya diri kita menikmati masa tua dengan sang cucu di gendongan. Semua berkumpul, anak , menantu dan cucu. Seperti hidup terlengkapi sudah tinggal menunggu detik-detik berjumpa dengan tuhan.

Tapi semua ketakutan itu buyar, entah datang dari mana setitik cahaya mulai menerangi pikiran saya. Bukankah kebahagiaan hidup tidak hanya terletak pada “ada atau tidaknya” anak dalam kehidupan kita. Mungkin istri saya salah satunya yang tidak diberi tugas oleh tuhan menjadi mesin reproduksi manusia. tapi masih banyak tugas lain yang tuhan berikan kepada kita, kita bisa mencintai anak-anak terlantar diluar sana tanpa harus mengangkatnya sebagai anak. Bukankah itu perbuatan mulia.

Dan yang harus kita ingat, tidak seorangpun di muka bumi ini bisa menjamin kebahagiaan. Ada atau tidaknya anak, selama kita bahagia, saya rasa itu sudah cukup. Dan memang itu jatah hidup yang tuhan berikan untuk saya.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar