Hari ke 40 wafatnya paman saya, saya dan keluarga besar berkumpul untuk membacakan tahlil di rumahnya. Pembacaan tahlil dan do’a yang diadakan selepas maghrib ini dihadiri sekitar 70an orang. Saya sesekali membantu membawakan makanan dan minuman untuk para tamu yang hadir. Selepas pengajian ini setiap orang diberikan besek (baca: nasi yang dibungkus dengan saringan plastik dan lauk berupa ayam, telur dan bihun), tidak jarang makanan ringan yang disuguhkan di piring pun ikut dimasukkan ke dalam besek tersebut. Beberapa anak-anak tak luput berebutan memasukkan makanan dalam plastik besek yang mereka terima.
Seluruh tamu yang hadir telah pulang, sebagian dari keluarga merapihkan piring dan gelas. Saya dan beberapa sepupu lainnya duduk sambil menikmati kopi dan sebatang rokok kretek yang memang disedikan untuk para tamu yang hadir. Obrolan saya tak lepas dari timnas sepakbola Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik dengan prestasi gemilangnya di piala AFF. Pesepakbolaan Indonesia yang selama ini selalu melempem kini bisa membabat habis lawan-lawannya dengan skor yang besar. Ditambah dengan dua pemain naturalisasi yang memiliki talenta di lini depan menambah ketajaman tim yang selama ini hanya digantungkan kepada Boas dan Bambang pamungkas.
Obrolan tidak berhenti hanya pada sepakbola Indonesia, kini obrolan mulai merambat ke liga Inggris dan Spanyol. Di tengah-tengah obrolan yang semakin syeru, tiba-tiba perhatian saya tertuju kepada obrolan bapak dan paman-paman saya. Ada hal menarik yang mencuri perhatian saya dan seketika membuat saya berpidah posisi duduk menuju bapak dan paman-paman saya.
“Kondisi sekarang sudah berbeda dengan kondsi beberapa tahun lalu, kalau dulu bapak-bapak yang ikut pengajian enggak mau ngambil besek dan makan makanan ringan yang disediakan tapi sekarang malah pada berebut”. Itu kalimat awal bapak saya yang membuat saya tertarik. Dulu itu, kalaupun mereka ambil biasanya dibuang di pinggir jalan atau dilempar ke tempat sampah, sekarang liat aja, semua piring bersih dan besek pun yang disedikan tidak tersisa.
Tiba-tiba kakak saya nyeletuk ‘orang-orang sekarang sudah pada susah ya, kalau dulu mereka nolak tapi sekarang malah berebutan, kampung kita udah kerasa susah ya’. Diam-diam saya mengamini pendapat kakak saya, saya juga berpikiran hal yang sama. Jaman telah berubah, kondisi sekarang memaksa orang-orang yang dulunya tidak suka kini berbalik suka sekedar untuk makan. Sungguh ironi. Warga kampung yang dengan tingkat pendidkan yang sedang dan lapangan pekerjaan yang semakin sempit, membuat persaingan serasa semakin sulit. Usaha mikro makin tergencet dengan pemodal besar. Tak heran memang jika warga berebut sekerat daging hanya untuk bisa makan daging di hari idul qurban beberapa waktu lalu. Meski nyawa taruhannya.
Ternyata saya salah tafsir, semua analisa dalam pikiran saya salah menyimpulkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Warga memang semakin susah tapi bukan itu alasan yang paling mendasar kenapa mereka mau menerima besek dan makanan ringan. Tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya bahwa alasan mereka mau menerima besek itu karena mereka tidak lagi mempercayai takhayul tentang orang yang sudah meninggal. Selama ini mereka menolak karena mereka percaya bahwa makanan yang dihidangkan pada malam tahlilan telah diambil sari makanannya oleh orang yang meninggal tersebut. Nasi yang dihidangkan telah diinjak-injak oleh si empunya hajat, sehingga meraka tidak mau menerima makanan yang telah dimakan setan, takut sial menurut mereka. Jauh sekali dengan analisa saya.
Warga sekarang telah terbuka pikirannya, tidak melulu mengaitkan kehidupan dengan hal-hal mistis. Hal ini kelihatannya sederhana tapi memiliki sisi yang menarik, jauh dari jangkauan pikiran masyarakat yang telah mengenyam pendidikan seperti sekarang. Saya hanya sedikit marasakan masa-masa takhayul itu dan sudah lupa apa saja pantangan yang sering dikatakann para tetua yang kini sudah tidak ada lagi. Tapi dibalik semua alasan itu, saya tetap meyakini keadaan ekonomi yang semakin sulit secara tidak langsung merubah pikiran mereka mengenai panganan yang dihidangkan saat tahlil orang meninggal. Tak perduli berkah atau tidak, sial atau tidak yang penting bisa makan untuk menyambung hidup. Mungkin seperti itu.
Seluruh tamu yang hadir telah pulang, sebagian dari keluarga merapihkan piring dan gelas. Saya dan beberapa sepupu lainnya duduk sambil menikmati kopi dan sebatang rokok kretek yang memang disedikan untuk para tamu yang hadir. Obrolan saya tak lepas dari timnas sepakbola Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik dengan prestasi gemilangnya di piala AFF. Pesepakbolaan Indonesia yang selama ini selalu melempem kini bisa membabat habis lawan-lawannya dengan skor yang besar. Ditambah dengan dua pemain naturalisasi yang memiliki talenta di lini depan menambah ketajaman tim yang selama ini hanya digantungkan kepada Boas dan Bambang pamungkas.
Obrolan tidak berhenti hanya pada sepakbola Indonesia, kini obrolan mulai merambat ke liga Inggris dan Spanyol. Di tengah-tengah obrolan yang semakin syeru, tiba-tiba perhatian saya tertuju kepada obrolan bapak dan paman-paman saya. Ada hal menarik yang mencuri perhatian saya dan seketika membuat saya berpidah posisi duduk menuju bapak dan paman-paman saya.
“Kondisi sekarang sudah berbeda dengan kondsi beberapa tahun lalu, kalau dulu bapak-bapak yang ikut pengajian enggak mau ngambil besek dan makan makanan ringan yang disediakan tapi sekarang malah pada berebut”. Itu kalimat awal bapak saya yang membuat saya tertarik. Dulu itu, kalaupun mereka ambil biasanya dibuang di pinggir jalan atau dilempar ke tempat sampah, sekarang liat aja, semua piring bersih dan besek pun yang disedikan tidak tersisa.
Tiba-tiba kakak saya nyeletuk ‘orang-orang sekarang sudah pada susah ya, kalau dulu mereka nolak tapi sekarang malah berebutan, kampung kita udah kerasa susah ya’. Diam-diam saya mengamini pendapat kakak saya, saya juga berpikiran hal yang sama. Jaman telah berubah, kondisi sekarang memaksa orang-orang yang dulunya tidak suka kini berbalik suka sekedar untuk makan. Sungguh ironi. Warga kampung yang dengan tingkat pendidkan yang sedang dan lapangan pekerjaan yang semakin sempit, membuat persaingan serasa semakin sulit. Usaha mikro makin tergencet dengan pemodal besar. Tak heran memang jika warga berebut sekerat daging hanya untuk bisa makan daging di hari idul qurban beberapa waktu lalu. Meski nyawa taruhannya.
Ternyata saya salah tafsir, semua analisa dalam pikiran saya salah menyimpulkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Warga memang semakin susah tapi bukan itu alasan yang paling mendasar kenapa mereka mau menerima besek dan makanan ringan. Tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya bahwa alasan mereka mau menerima besek itu karena mereka tidak lagi mempercayai takhayul tentang orang yang sudah meninggal. Selama ini mereka menolak karena mereka percaya bahwa makanan yang dihidangkan pada malam tahlilan telah diambil sari makanannya oleh orang yang meninggal tersebut. Nasi yang dihidangkan telah diinjak-injak oleh si empunya hajat, sehingga meraka tidak mau menerima makanan yang telah dimakan setan, takut sial menurut mereka. Jauh sekali dengan analisa saya.
Warga sekarang telah terbuka pikirannya, tidak melulu mengaitkan kehidupan dengan hal-hal mistis. Hal ini kelihatannya sederhana tapi memiliki sisi yang menarik, jauh dari jangkauan pikiran masyarakat yang telah mengenyam pendidikan seperti sekarang. Saya hanya sedikit marasakan masa-masa takhayul itu dan sudah lupa apa saja pantangan yang sering dikatakann para tetua yang kini sudah tidak ada lagi. Tapi dibalik semua alasan itu, saya tetap meyakini keadaan ekonomi yang semakin sulit secara tidak langsung merubah pikiran mereka mengenai panganan yang dihidangkan saat tahlil orang meninggal. Tak perduli berkah atau tidak, sial atau tidak yang penting bisa makan untuk menyambung hidup. Mungkin seperti itu.
0 comments:
Posting Komentar