Hari Ini

Lagu sarjana muda mengalun keras di kamarku, hentakkan musik dengan speaker simbadda membuat suasana siang yang biasanya lengang di rumahku kini mulai gaduh. Sesekali aku mengikuti irama musik yang seolah memanggil-manggilku untuk ikut bernyanyi meski hanya sebait, dua bait. Awalnya biasa, sama seperti lagu-lagu Iwan Fals lainnya tapi semakin jauh dentakkan jantungku ikut terpacu, mulai bergetar mendengarnya. Suaraku yang terkunci kini mulai membuka, dan mulai beriringan dengan suara bang Iwan yang sama sekali tak matching dengan suaraku.

Tadi pagi setelah bangun tidur hal pertama yang aku lakukan memindahan unduhan lagu Iwan Fals dari flashdisk ke komputer jinjing kakakku yang kebetulan nganggur, karena si empunya sedang libur ngajar setelah para siswanya menyelesaikan ujian semester ganjil. Musik memiliki efek psikologis yang sangat erat dengan keadaaan seseorang dan saat ini yang ingin kudengar adalah lagu-lagu bang Iwan. Musik mengikuti denyut nadi manusia, begitu kata salah seorang sahabatku yang mengerti tantang psikologi musik. Saat marah kerap kali kita ingin mendengarkan alunan musik yang keras, ketika sedih lagu metal (mellow total) menjadi alternatif lainnya. Begitulah kira-kira, meski tidak selalu seperti itu.

Masih dengan sempoyongan ku buka telepon gengam yang sudah tak sedap dipandang mata. Casingnya sudah pecah lantaran tak kuat lagi menahan baterainya yang menggelembung akibat terlalu sering digunakan main game. Untuk mensiasatinya kutempelkan stiker sonik agar cassingnya tak lepas, Joysticknya pun sudah tak berfungsi, seringnya kehujanan membuat beberapa keypadnya sudah tak lagi nyaman untuk dipakai. Seringkali komentar bermunculan, dari menyarankan untuk ganti casing hingga lembiru (baca: lempar dan ganti baru). Dengan santainya aku menjawab, masih bisa dipake koq, masih bisa untuk telepon dan sms. Meski sebenarnya kantong yang tidak memungkinkan untuk membeli telepon gengam yang lumayan.

Ada pesan singkat yang mendarat di inbox, seorang teman yang bernasib sama mengajakku menaruh lamaran. Langsung saja aku mengiyakan ajakan itu. Melihat printer yang sudah modar kutambahkan balasan minta dibuatkan surat lamaran, kapan lagi pikirku. Sambil menunggu, aku ke dapur mencari sesuatu yang bisa dimakan dan yang kudapati hanya telur. Tak apalah, selama ini telur adalah sahabat makan terbaikku setelah mie instan. Telor ceplok dan kecap kini menemani nasi putih, asapnya masih mngepul baru diambil dari mesin pengahangat.

Kuhidupkan saklar agar air keluar dari sumur melalui bantuan mesin penyedot air, penyedot air? Kira-kira kata apa yang tepat untuk menggambarkan mesin yang digunakan untuk menyedot air. Sudahlah, yang penting saya mengerti dan anda juga mengerti maksud saya. Air yang langsung disedot dari sumur lebih terasa hangat dari air yang sempat diendapkan di kolam. Setelah hal-hal remeh berlalu kini saatnya memberi polesan akhir, penampilan selalu menajdi perhatian utama. Tak perduli seberapa bodohnya kita, asal penampilan menarik. Itu modal yang cukup untuk menarik perhatian pemilik perusahaan.

Temanku datang, belum sempat mematikan motornya langsung kusuruh tancap gas. Alamat yang kurang jelas dan minimnya pengetahuan jalan, membuat aku muter-muter tak tentu arah. Setelah hampir dua jam berjibaku dalam kesesetan, akhirnya sampailah aku menuju sasaran. Setelah merapihkan kembali penampilan yang sudah lecek karena tersesat, aku dan temanku menuju resepsionis. Hal yang menjengkelkan terjadi, ternyata bukan walk interview. Kalau tau bukan walk interview mending aku pake celana levis atau celana pendek sekalian. Sesampainya di rumah aku langsung masuk kamar, bang Iwan Fals sudah menunggu gilirannya untuk bernyanyi siang ini. kusetel lagunya keras-keras, tak lupa secangkir kopi hitam dan sebatang rokok penikmat siang yang kacau balau ini. Satu demi satu mulai mengalun dan berujung pada sarjana muda. Hendak kuganti tapi hatiku menyuruh untuk diam dan mendengarkan, seketika aku mulai menikmatinya.

Kenapa Iwan Fals? Tepatnya aku tidak tahu.

Kenapa sarjana muda? Untuk pertnyaan ini aku bisa menjawabnya, karena aku sarjana muda. Seseorang yang menamatkan pendidikan dan hanya menjadi pria penggilan. Ironis memang, saat banyak orang ingin bangkit dari keterpurukan, justru aku baru menggali lobang untuk jatuh di dalamnya. Mungkin dengan jatuh dan terpuruk terlebih dulu semangat untuk bengkit lebih besar dari sekarang. Setidaknya pahit itu telah tercicipi dan asam garam yang didengung-dengunkan banyak orang telah ku cicipi. Meski hanya seujung lidah.

Rasanya dunia tak lagi aman…

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar