Ini hari pertama saya kerja. Sebagai boy yesterdey afternon...hihihi plus fresh graduate membuat saya canggung untuk memulai sesuatu. Saya tak pernah benar-benar ingin terjun dan terjerumus dalam dunia jurnalistik. Meski saya kuliah jurusan komunikasi, buat saya itu hanyalah kecelakaan sejarah. Saya juga sempat berkecimpung di organisasi Pers Kampus, tapi tak lantas membuat saya jatuh dan mencinta pada bidang tulis menulis ini. tapi inilah suprise hidup, tak disangka tak diduga akhirnya saya benar-benar terpesorok dalam bidang ini. Karir profesional saya, justru bermula menjadi reporter sebuah majalah fashion.
Sambil menunggu pembuatan absen dan ID Card, saya dikumpulkan bersama karyawan baru lainnya di divisi produk. Teman-teman yang lain sudah mulai membuka pembicaraan, saya masih terpaku dan tak ingin memulai. Saya tak ingin ngobrol, satu-satunya yang ingin saya lakukan adalah tidur. Akibat nonton bola semalam, membuat mata saya tak kuat menahan kantuk. Sambil terus menguap-nguap saya mencoba mengusir rasa kantuk dengan mengobrol. Rasa kantuk itu sedikit berkurang. Disela obrolan yang tak jelas itu, seorang teman (karyawan lama) yang baru saya kenal menyampaikan salam dari seorang rekannya “dapet salam tuh dari yang pake kaca mata, katanya keren juga hihihi”.. saya tak bereaksi apa-apa. Tiba-tiba saya ditegur oleh teman disebelah saya “bilang terima kasih dong”. Yang lain juga ikut-ikutan ” ya, kalo dipuji bilang terima kasih jangan diem aja”. Lagi-lagi saya cuma diam, tak ingin diteruskan.
Kejadian tadi sontak mengingatkan saya pada sebuah buku karya Budiman Hakim berjudul Sex After Dugem. Di dalamnya terdapat tulisan yang tak biasa, mulai dari kocak, sedih dan hal-hal sederhana dalam hidup yang seringkali luput dalam pandangan kita. Terima kasih itu gratis, itulah salah satu bab dalam buku itu. Meski gratis kerap kali kita lupa untuk mengucapkannya. Kita ingin sekali dikenal sebagai negara yang berbudaya tinggi, sopan santun, ramah tamah dan menyenangkan. Tapi dalam prakteknya, untuk hal sederhana seperti ini saja kita kerap lupa. Padahal ini salah satu manifestasi dari ramah tamah dan sopan santun.
Setelah membaca buku itu, saya mencoba merealisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam benak saya, apa sih sulitnya mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Dalam prakteknya, tak mudah. Hampir setiap pagi saya membeli bubur ayam yang lewat di depan rumah. Lantaran bengun kesiangan, sarapan yang disediakan telah berpindah ke tubuh para penghuni lain di rumah. Setiap membeli saya tak lupa menyelipkan ucapan “terimakasih dan tersenyum”. Hal itu saya lakukan secara terus menerus setiap kali saya membeli bubur. Pada satu titik, saya merasa jenuh. Akhirnya hanya sesekali saya mempraktekannya, selebihnya saya ngeloyor begitu saja. Saya tak mempraktekannya hanya pada tukang bubur itu, tapi pada hal-hal di sekelilimg saya. Akhirnya saya menyadari satu hal, menumbuhkan hal-hal sederhana seperti mengucapkan : terima kasih, selamat pagi, tersenyum dan bersikap ramah pada semua orang bukan hal mudah. Sikap seperti ini harus dilatih setiap hari agar energi postif timbul dalam hidup kita.
Setelah membuat absen dengan sidik jari (baca: membuat kita tak bisa nitip absen, karena sidik jari setiap orang berbeda), saya diantar menuju meja kerja saya. Terdapat satu set komputer, laci, dan beberapa majalah fashion diluar majalah tempat saya bekerja. Saya lalu dikenalkan pada rekan kerja saya: Pimred, Redpel, Layouter dan beberapa staff lainnya. Bingung harus berbuat apa, dengan sok-nya saya menanyakan pekerjaan pada Redpel. Walhasil saya diberi seabreg majalah untuk dibaca. Seminggu kedepan saya harus bisa menyesuaikan gaya tulisan saya dengan tulisan majalah ini. Well... enak bener jadi saya, digaji hanya untuk baca majalah...
Sering rasanya kita mendengar kalimat “roda hidup itu terus berputar, kadang di atas dan kadang di bawah”, namun dalam setiap jengkal kita menapaki hidup kerapkali kita merasa roda itu berhenti pada sisi atas dan bawah. Hanya segelintir orang yang marasakan roda itu berada di atas, selebihnya berada di bawah. Tak jarang kita memaki, mengeluh, marah dan kesal. Meski sebenarnya kita tahu, seberapa besarpun amarah yang kita keluarkan tak akan merubah apa-apa, hanya memperburuk keadan hati kita.
Melihat orang-orang sukses, kita marah. Dan mengutuki tuhan kenapa tak manjadikan diri kita seperti mereka. Padahal kalau kita ingin membaca biografi mereka, ada kalimat yang harus kita garis bawahi. Kerja keras dan kerja cerdas, merupakan ujung tombak dari setiap keberhasilan yang mereka raih. Banyak orang yang bermula dari nol, hingga menjadi angka yang diperhitungkan. Tengok saja orang-orang besar, mereka berangkat dari bukan siapa-siapa hingga menjadi siapa-siapa.
Saya termasuk orang yang mempertanyakan roda kehidupan itu. Bukan dalam tataran materi tapi dalam tataran bermanfaat atau tidakkah waktu yang saya jalani dalam hidup. Buat saya hidup bukanlah sekedar angka-angka, meski terdengar idealis tapi begitulah saya memahami hidup. Seberapa banyak pun materi yang kita himpun, jika saatnya hilang dan terjatuh maka dalam sekejap semuanya lenyap tak berbekas. Maka himpunlah kekayan hati, semakin lapang hatimu semakin lapang hidupmu. Dalam prosesnya memang tak mudah, asal kita percaya bahwa setiap detik adalah pelajaran. Sampai mati kita tak pernah berhenti untuk belajar.
Pernah satu kali saya berbicara tentang masa depan bersama teman-teman. Seperti sudah disepakati, seluruh teman-teman mendefinisikan kesuksesan pada seberapa banyak pundi-pundi yang kamu punya. Ketika saya bilang, “saya tak terlalu ambisius untuk mengejar itu semua, selama saya bahagia dan bisa bermanfaat untuk orang lain, buat saya itu cukup” saya dianggap aneh bahkan gila. Seorang teman bahkan berkata “makan tuh bahagia, makan tuh nyaman. Kalo nggak punya duit mah mana bisa bahagia, hidup itu pake duit bukan pake idealis”. Saya merasa perih mendengarnya, tapi saya sadar cara orang mendefinisikan hidup berbeda-beda. Mereka tidak salah, begitu juga saya, hanya cara pandang kita saja yang berbeda-titik.
Seringkali orang-orang di sekitar saya menyalahartikan konsep hidup yang saya anut. Mereka menganggap saya terlalu idealis, tak butuh uang apalagi harta. Seolah saya hidup di jaman batu yang hidup dengan berburu. Sebagai manusia yang hidup dalam kungkungan ekonomi pas-pasan, saya tahu betul pentingnya materi dalam kehidupan. seringkali saya merasa beruntung bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, dibandingkan jutaan manusia lainnya yang harus memupuskan niatnya belajar karena kurangnya biaya. Tapi tak jarang juga saya merasa sedih, kehidupan yang serba kurang membuat saya harus mengkonsumsi telur ceplok setiap hari. Beruntung, kesadaran itu pulih dan berkata “kamu beruntung, banyak orang di luar sana yang tak bisa makan”, dan itu cukup menghibur hati.
Telur ceplok itu hanyalah analogi dari sekelumit hidup yang saya alami. Untungnya kesadaran untuk bersyukur kerap bertumbuh dan mulai menyuburkan hati. meski kadang amarah datang, seketika hati yang subur menjadi gersang karnanya. Proses menghujani hati yang gersang tidaklah mudah. Gesekan dari berbagai arah selalu datang. Tapi kita haruslah ingat, sulit bukan berarti mustahil.