Terima Kasih itu...... Susah!

Ini hari pertama saya kerja. Sebagai boy yesterdey afternon...hihihi plus fresh graduate membuat saya canggung untuk memulai sesuatu. Saya tak pernah benar-benar ingin terjun dan terjerumus dalam dunia jurnalistik. Meski saya kuliah jurusan komunikasi, buat saya itu hanyalah kecelakaan sejarah. Saya juga sempat berkecimpung di organisasi Pers Kampus, tapi tak lantas membuat saya jatuh dan mencinta pada bidang tulis menulis ini. tapi inilah suprise hidup, tak disangka tak diduga akhirnya saya benar-benar terpesorok dalam bidang ini. Karir profesional saya, justru bermula menjadi reporter sebuah majalah fashion.

Sambil menunggu pembuatan absen dan ID Card, saya dikumpulkan bersama karyawan baru lainnya di divisi produk. Teman-teman yang lain sudah mulai membuka pembicaraan, saya masih terpaku dan tak ingin memulai. Saya tak ingin ngobrol, satu-satunya yang ingin saya lakukan adalah tidur. Akibat nonton bola semalam, membuat mata saya tak kuat menahan kantuk. Sambil terus menguap-nguap saya mencoba mengusir rasa kantuk dengan mengobrol. Rasa kantuk itu sedikit berkurang. Disela obrolan yang tak jelas itu, seorang teman (karyawan lama) yang baru saya kenal menyampaikan salam dari seorang rekannya “dapet salam tuh dari yang pake kaca mata, katanya keren juga hihihi”.. saya tak bereaksi apa-apa. Tiba-tiba saya ditegur oleh teman disebelah saya “bilang terima kasih dong”. Yang lain juga ikut-ikutan ” ya, kalo dipuji bilang terima kasih jangan diem aja”. Lagi-lagi saya cuma diam, tak ingin diteruskan.

Kejadian tadi sontak mengingatkan saya pada sebuah buku karya Budiman Hakim berjudul Sex After Dugem. Di dalamnya terdapat tulisan yang tak biasa, mulai dari kocak, sedih dan hal-hal sederhana dalam hidup yang seringkali luput dalam pandangan kita. Terima kasih itu gratis, itulah salah satu bab dalam buku itu. Meski gratis kerap kali kita lupa untuk mengucapkannya. Kita ingin sekali dikenal sebagai negara yang berbudaya tinggi, sopan santun, ramah tamah dan menyenangkan. Tapi dalam prakteknya, untuk hal sederhana seperti ini saja kita kerap lupa. Padahal ini salah satu manifestasi dari ramah tamah dan sopan santun.

Setelah membaca buku itu, saya mencoba merealisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam benak saya, apa sih sulitnya mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Dalam prakteknya, tak mudah. Hampir setiap pagi saya membeli bubur ayam yang lewat di depan rumah. Lantaran bengun kesiangan, sarapan yang disediakan telah berpindah ke tubuh para penghuni lain di rumah. Setiap membeli saya tak lupa menyelipkan ucapan “terimakasih dan tersenyum”. Hal itu saya lakukan secara terus menerus setiap kali saya membeli bubur. Pada satu titik, saya merasa jenuh. Akhirnya hanya sesekali saya mempraktekannya, selebihnya saya ngeloyor begitu saja. Saya tak mempraktekannya hanya pada tukang bubur itu, tapi pada hal-hal di sekelilimg saya. Akhirnya saya menyadari satu hal, menumbuhkan hal-hal sederhana seperti mengucapkan : terima kasih, selamat pagi, tersenyum dan bersikap ramah pada semua orang bukan hal mudah. Sikap seperti ini harus dilatih setiap hari agar energi postif timbul dalam hidup kita.

Setelah membuat absen dengan sidik jari (baca: membuat kita tak bisa nitip absen, karena sidik jari setiap orang berbeda), saya diantar menuju meja kerja saya. Terdapat satu set komputer, laci, dan beberapa majalah fashion diluar majalah tempat saya bekerja. Saya lalu dikenalkan pada rekan kerja saya: Pimred, Redpel, Layouter dan beberapa staff lainnya. Bingung harus berbuat apa, dengan sok-nya saya menanyakan pekerjaan pada Redpel. Walhasil saya diberi seabreg majalah untuk dibaca. Seminggu kedepan saya harus bisa menyesuaikan gaya tulisan saya dengan tulisan majalah ini. Well... enak bener jadi saya, digaji hanya untuk baca majalah...

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar