Sering rasanya kita mendengar kalimat “roda hidup itu terus berputar, kadang di atas dan kadang di bawah”, namun dalam setiap jengkal kita menapaki hidup kerapkali kita merasa roda itu berhenti pada sisi atas dan bawah. Hanya segelintir orang yang marasakan roda itu berada di atas, selebihnya berada di bawah. Tak jarang kita memaki, mengeluh, marah dan kesal. Meski sebenarnya kita tahu, seberapa besarpun amarah yang kita keluarkan tak akan merubah apa-apa, hanya memperburuk keadan hati kita.
Melihat orang-orang sukses, kita marah. Dan mengutuki tuhan kenapa tak manjadikan diri kita seperti mereka. Padahal kalau kita ingin membaca biografi mereka, ada kalimat yang harus kita garis bawahi. Kerja keras dan kerja cerdas, merupakan ujung tombak dari setiap keberhasilan yang mereka raih. Banyak orang yang bermula dari nol, hingga menjadi angka yang diperhitungkan. Tengok saja orang-orang besar, mereka berangkat dari bukan siapa-siapa hingga menjadi siapa-siapa.
Saya termasuk orang yang mempertanyakan roda kehidupan itu. Bukan dalam tataran materi tapi dalam tataran bermanfaat atau tidakkah waktu yang saya jalani dalam hidup. Buat saya hidup bukanlah sekedar angka-angka, meski terdengar idealis tapi begitulah saya memahami hidup. Seberapa banyak pun materi yang kita himpun, jika saatnya hilang dan terjatuh maka dalam sekejap semuanya lenyap tak berbekas. Maka himpunlah kekayan hati, semakin lapang hatimu semakin lapang hidupmu. Dalam prosesnya memang tak mudah, asal kita percaya bahwa setiap detik adalah pelajaran. Sampai mati kita tak pernah berhenti untuk belajar.
Pernah satu kali saya berbicara tentang masa depan bersama teman-teman. Seperti sudah disepakati, seluruh teman-teman mendefinisikan kesuksesan pada seberapa banyak pundi-pundi yang kamu punya. Ketika saya bilang, “saya tak terlalu ambisius untuk mengejar itu semua, selama saya bahagia dan bisa bermanfaat untuk orang lain, buat saya itu cukup” saya dianggap aneh bahkan gila. Seorang teman bahkan berkata “makan tuh bahagia, makan tuh nyaman. Kalo nggak punya duit mah mana bisa bahagia, hidup itu pake duit bukan pake idealis”. Saya merasa perih mendengarnya, tapi saya sadar cara orang mendefinisikan hidup berbeda-beda. Mereka tidak salah, begitu juga saya, hanya cara pandang kita saja yang berbeda-titik.
Seringkali orang-orang di sekitar saya menyalahartikan konsep hidup yang saya anut. Mereka menganggap saya terlalu idealis, tak butuh uang apalagi harta. Seolah saya hidup di jaman batu yang hidup dengan berburu. Sebagai manusia yang hidup dalam kungkungan ekonomi pas-pasan, saya tahu betul pentingnya materi dalam kehidupan. seringkali saya merasa beruntung bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, dibandingkan jutaan manusia lainnya yang harus memupuskan niatnya belajar karena kurangnya biaya. Tapi tak jarang juga saya merasa sedih, kehidupan yang serba kurang membuat saya harus mengkonsumsi telur ceplok setiap hari. Beruntung, kesadaran itu pulih dan berkata “kamu beruntung, banyak orang di luar sana yang tak bisa makan”, dan itu cukup menghibur hati.
Telur ceplok itu hanyalah analogi dari sekelumit hidup yang saya alami. Untungnya kesadaran untuk bersyukur kerap bertumbuh dan mulai menyuburkan hati. meski kadang amarah datang, seketika hati yang subur menjadi gersang karnanya. Proses menghujani hati yang gersang tidaklah mudah. Gesekan dari berbagai arah selalu datang. Tapi kita haruslah ingat, sulit bukan berarti mustahil.
0 comments:
Posting Komentar