Tyas Story:
Saya nggak habis pikir, kenapa cowok sering kali menganggap semua cewek
makhluk lemah dan nggak bisa mandiri. Kesannya tuhan menciptakan makhluk di
muka bumi ini satu setengah. Satu laki-laki dan setengahnya lagi perempuan.
Sehingga dengan ketidak sempurnaannya selalu dianggap remeh. Saya juga bingung,
apa tuhan menciptakan nomor di setiap punggung manusia, sehingga laki-laki
selalu jadi nomor satu dan perempuan makhluk nomor dua. Rasanya tuhan nggak
sekerdil itu, membatasi ruang manusia pada tataran laki-laki dan perempuan.
Buat saya selagi kita manusia, kita layak buat dapet porsi yang sama.
Sayangnya, manusia-manusia itu kerap
kali mengatasnamakan agama untuk membenarkan tindakannya memarjinalkan
perempuan. Susah kalau agama udah dijadiin alat pembenaran. Agama seharusnya
dijadikan jalan untuk mencari kebenaran bukan alat pembenaran. Kalau mencari
kebenaran kita akan terus berproses mencari, tapi jika menjadikan alat
pembenaran, agama hanya akan dijadikan alat untuk membenarkan tindakan yang tak
sepatutnya. Seperti memarjinalkan kaum perempuan.
Bruno Mars masih setia menemani saya dengan “granade-nya”. Saat-saat
seperti ini saya selalu merindukan dua sahabat saya. Satu sahabat, dan satu crush.
Rey namanya. Perpaduan antara gila dan cuek mampus. Jutek dan nggak perduli
sama apapun di luar dirinya, bahkan sama dirinya sendiri. Itu kesan pertama
saya mengenal Rey. Tapi itu cuma kulit luarnya. Rey sosok makhluk yang care
sama orang bahkan yang baru dikenalnya. Tapi saya nggak pernah ngerti, kenapa
Rey selalu ingin tampil cuek di mata semua orang, jutek, gila dan nggak perduli
apapun, bahkan sampai saat ini meski saya tahu Rey sangat peduli pada saya.
Terakhir saya denger, Rey jadi reporter di majalah fesyen. Saya nggak habis
pikir bagaimana orang yang tergila-gila sama film malah milih jadi wartawan di
media cetak. Tapi bukan Rey kalo lurus-lurus aja, saya berani taruhan dia nggak
akan lebih dari tiga bulan bertahan dikerjaannya sekarang. Saya tau, itu cuma
pelampiasan sesaat. Satu lagi Bram, sahabat saya sejak SMA. Kalo Bram mulai
nggak jelas rimbanya. Meski satu jurusan dan sama-sama belum lulus, saya dan
Bram udah loss contact beberapa bulan ini. Kata teman-temen Bram jadi
relawan di Merapi. Tapi anehnya dia nggak bilang atau sekedar pamit.
Saya selalu mengurung diri di kamar jika sedang sedih, dan satu-satu orang
yang ingin saya hubungi adalah Rey. Saya nggak tahu kenapa, meski saya lebih
dulu bersahabat dengan Bram. Rey sangat menghormati saya, nggak pernah
sekalipun dia memaksa saya bercerita. Dia selalu menunggu, buat saya itu
penghargaan terbesar buat seorang wanita “ingin didengar dan dimengerti”, dan
Rey mengabulkannya.
Kata orang, saat kita sendiri dan kita sangat merindukan seseorang berarti
kita mencintai orang itu. Saat saya mendaki gunung Semeru untuk melepaskan
penat, satu-satunya orang yang saya rindukan adalah Rey. Untuk pertama kalinya
saya menyadari bahwa perasan saya ke Rey lebih dari sekedar sahabat, lebih dari
sekedar suka. Cinta. Dan untuk pertama kalinya saya mencintai seseorang
melebihi cinta saya pada gunung. Rey kayak candu buat saya. Saya nggak butuh
cimeng, Vodka, tequila, heroin dan sabu-sabu buat mabok, saya cuma butuh Rey
buat lupa segala masalah di dunia ini. Segitu gilanya saya suka sama makhluk
cuek itu.
Harusnya saya sadar, di mata Rey saya cuma sahabat. Nggak lebih. Sampai
kapanpun begitu. Saya menyesal telah jujur pada Rey tentang perasaan saya yang
sebenarnya, tapi mungkin saya akan jauh lebih menyesal jika hanya memedamnya.
Rey harus tahu, ada cewek yang begitu tergila-gila dan mencintainya. Meski
bayarannya begitu mahal. Sejak saat itu hubungan kami merenggang. Kami menjauh.
Tepatnya saya yang menjauh. Tapi saya tahu Rey selalu ada buat saya.
Bram Story:
Sebetulnya gue benci mengatakan ini, tapi inilah kenyataan yang sebenarnya.
Tyas suka sama Rey. Meski Tyas selalu ngelak tiap kali gue tanya, tapi mata itu
nggak bisa bohong. Sorot itu selalu berbinar kalo natap Rey, sorot mata yang
nggak pernah gue liat sebelumnya. Termasuk ke gue, sahabatnya dari SMA. Sorot
mata yang sama saat gue liat Tyas, dan Tyas nggak pernah nyadar akan hal itu.
Sore itu, Tyas dateng ke kosan gua sambil nangis. Pemandangan langka dalam
hidup gue. Belum pernah sekalipun gue liat dia nangis di depan gue, tapi kini dia
berdri di pintu kost gue. Entah kenapa, gue merasa ini ada hubungannya dengan
Rey. Tapi gue nggak mau berprasangka lebih jauh. Gue nggak ingin berpikir
macem- macem, gue nunggu Tyas reda. Feeling gue bener, Rey penyebabnya.
Ini emang bukan salah Rey, ini masalah pilihan. Dan Rey memilih menjadi
sahabat.
Gue sedih sekaligus bahagia pada saat bersamaan. Sedih melihat orang yang
gue sayangi hancur dan bahagia karena kesempatan untuk memiliki Tyas datang
lagi. Gue ingin ungkapin semua saat itu juga. Bahwa gue mencintai sejak dulu,
sejak SMA. Bahkan pada hari pertama kita jumpa. Tapi urung gue lakuin. Gue
sadar, mata itu nggak pernah sebegitu bahagianya saat melihat gue, dan gue
sadar tatapan itu cuma untuk satu orang. Rey. Mungkin lebih baik buat gue hidup
dalam kebohongan. The lies we live in.
Rey Story:
Hari ini panas banget, membuat gua nggak konsen untuk meneruskan pekerjaan
yang harus diselesaikan minggu ini juga. Deadline adalah harga mati yang tak
bisa ditawar. Beberapa artikel udah gua selesain, hanya tinggal rublik interview
yang belum selesai. Menyortir dua belas artis dan model bukanlah pekerjaan
mudah. Hanya dua dari mereka yang layak yang dimasukkan kedalam rubrik interview
dan hanya satu yang akan terpampang di cover majalah. Camera face, popularity
and smart perpaduan yang tak bisa ditawar-tawar lagi dalam menentukan dua
kandidat artis tersebut.
Gua sedang berada di site office, mengecek email kantor dan email
pribadi. Sesekali membaca hasil interview dengan narasumber yang Gua
email kemarin. Gua bekerja di majalah fashion and enterpreurship.
Perpaduan antara kesuksesan dan gaya hidup. Membuat janji dengan para pengusaha
sukses bukanlah hal mudah. Surat elektronik menjadi alternatif utama setelah
sambungan telepon yang tak mungkin diangkat.
Terjun ke dunia media bukanlah tujuan. Sama sepertihalnya memilih jurusan
saat kuliah. Entah berapa kali Gua mengungkapkan hal ini dalam sebuah tulisan
di Blogg. Tapi itulah kenyataan yang sebenarnya. Tuhan emang sutradara banget.
Selalu aja ada kejutan dalam hidup. Pernah satu kali teman Gua bertanya “kenapa
seh lo pengen banget bikin film?” dengan santainya Gua jawab “Gue pengen jadi
tuhan” tanpa ba-bi-bu temen Gua langsung ngeloyor pergi. Mungkin Gua
dinggap gila, tapi buat Gua pemikiran kayak gitu sah-sah aja. Saking pengennya
Gua sampe bikin t-shirt special edition, tulisannya singkat “ God is
a Director”.
Email yang paling Gua tunggu adalah dari dua sahabat gua. Tyas dan Bram. Gua
kenal Tyas dari awal kuliah. Ritual sore hari yang hampir selalu gua lakuin berbuah
persahabtan. Setiap sore, seusai kuliah gua selalu nyempetin waktu buat
duduk-duduk di taman kampus. Cuma buat liat daun-daun pohon mahoni berguguran
ditiup angin. Buat gua itu hal paling menyenangkan sekaligus menentramkan. Sore
itu gua liat Tyas, dan saat itu juga gua tahu dia melapalkan ritual yang sama.
Persahabatan itu pun bermulai.
Bram sahabat Tyas+ satu organisasi. Persahabatn gua dengan Tyas secara
nggak langsung membuat gua bersahabat dengan Bram. Setiap kali ngopi dan
kongkow-kongkow , Tyas selalu dateng bereng Bram. Sempet Gua berpikir kalo
mereka jadian, tapi pikiran itu kayaknya cuma ada di otak Gua. Meski kita
bertiga bersahabat, tapi Gua ngerasa ada jarak antra Gua dan Bram. Bram itrovert
dan Gua nggak ingin membuka sesuatu yang memang nggak ingin dibuka, biarlah
Bram hidup dengan misterinya.
Hobi gua dan Tyas beda, gua suka banget nonton film malahan terobsesi untuk
bisa bikin film sekelas Hollywood. Kalu nanti sukses, bakal Gua ganti label
jadi Indowood, biar kiblat film pidah ke Indonesia dan bukan Amerika lagi.
Saking sukanya, Gua bisa dua sampe tiga kali ke bioskop buat nonton film yang
sama. Tyas suka gunung, cinta mati malah. Gua sempet mikir, kalau seandainya
gunung itu berubah wujud jadi manusia, Tyas langsung kepincut tanpa harus
mikir-mikir lagi. Meski hobi kita beda, kita punya satu kesamaan “sama-sama
suka hal-hal remeh” dan itu yang membuat kita nyambung. Kita suka liat
daun-daun gugur ditiup angin, malahan sering sambil diri di bawah pohonnya. Gua
suka gerimis, sedangkan dia suka hujan. Hujan seperti magnet yang membuatnya
terpaku setiap kali turun ke bumi. Dan kita suka aroma tanah yang tersentuh
hujan. Eksotis.
Tyas cewek manis + tomboy, dua perpaduan yang eksotik. Meski tomboy Tyas
begitu rapuh. Tak ada yang bisa melihat hal itu, kecuali orang-orang
terdekatnya. Gua salah satu yang menyadari hal itu. Dan tak pernah sekalipun
ingin mengusiknya. Gua lebih suka liat Tyas yang tomboy, ceria, jutek dan
seenak perutnya kalo nyemprot orang. Kalo dia ga suka, dia bakal bilang ga suka
nggak perduli sama apa pun. Dan Gua lebih nyaman dengan keadaan itu. Gua nggak
pernah liat dia sedih, Gua tahu itu lewat suaranya. Kadang dia telepon Gua,
atau minta Gua telepon ke rumahnya. Kalo sedih dia selalu sembunyi di
kastilnya. Dan Gua bisa tahu dari suaranya, Cuma itu.
Buat kebanyakan orang, lebih mudah menolak dari pada ditolak. Buat Gua
kadarnya sama. Sulit menolak orang yang justru Gua sayangi. Gua sayang Tyas,
sayang banget malah. Sampai kapan pun seperti itu. Tapi Gua takut satu hal. Gua
takut kehilangan dia, hubungan sepasang kekasih seringkali membuat spasi. Gua
nggak mau hal itu terjadi tapi Tyas nggak memahami hal itu. Dia menjauh. Dia
ada, tapi kini Gua merasa dia menghilang....
0 comments:
Posting Komentar