Nggak heran jika banyak orang yang akhirnya kalah dengan pikirannya sendiri. Ketakutan kerap kali muncul dalam pikiran dan membuat rencana manis gagal barantakan. Pikiran sudah mempredikasi apa yang terjadi di masa depan, sudah mengkalkulasi apa yang belum dilakukan. Hidup tak bisa dikalkuasikan, ia bukan barang mati, selama masih bernafas selalu ada yang terjadi. Tak bisa diprediksi. Hal itu yang saya alami saat ini. Beberapakali saya melewatkan interview dari sebuah perusahaan besar di Jakarta. Dengan alasan yang sangat sederhana, ”takut nggak cocok” saya melewatkan kesempatan itu begitu saja. Padahal kita nggak pernah tahu cocok atau tidak sebelum mencoba.
Ketakutan terbesar dalam hidup saya adalah membayangkan kerja dengan busana formal. Memakai kemeja, celana bahan dan sepatu pantofel. Belum lagi harus duduk di depan komputer dari pagi sampai pulang, satu-satunya penyelamat hanyalah istirahat. Terbiasa bekerja dengan setelan santai membuat saya risih jika harus berpenampilan rapi. Sayangnya interview datang dari perusahaan-perusahaan yang mengharuskan saya bergaya formal.
Saya coba merenung, merunut kembali alasan saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya. ”saya ingin mencari pengalaman baru-titik”. Seharusnya dengan alasan itu saya tak perlu khawatir bekerja di perusahaan apa dan posisi apa. Semakin besar kesulitan yang harus dihadapi akan semakin kuat seseorang menghadapi hidup.
Dari situ saya mulai berpikir untuk keluar dari kungkungan pikiran yang membelenggu saya selama ini. Saya tidak tahu pekerjaan yang benar-bener saya banget. Selama ada kesempatan untuk mencari, saya kan mencari. Saya tak lagi peduli soal formal atau nonformal. Lapangan atau site kantor. Media atau bukan. Pengalaman yang akan menentukan nyaman atau tidak. Saya banget atau bukan.
Saya semakin bersemangat untuk menyambut hari esok. Selamat datang interview, selamat datang pengalaman baru dan selamat tinggal ketakutan….
Sehebat apa pun seseorang, sekuat apa pun dia, putus-selalu menyisakkan rasa sakit. Rasa pahit, melebihi pahitnya meneguk kopi tanpa gula. Kamu tak menemukan Aroma kenikmatan di sana, yang tertinggal hanya luka, menggores kaca hati yang selama ini kamu jaga sangat hati-hati. 
Barangkali memang tidak semua hati memiliki pintu. Maka mengetuknya berkali-kali, Hanya akan akan menjadi pekerjaan yang sia-sia. –Adisti-
Saya menanti dengan intuisi. Meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja. Memastikan dia akan datang dan membawa hati yang pernah saya titipkan untuknya. Intuisi tak selalu benar, bisikan-bisikan halus seringkali menyesatkan.
Terlalu berisiko menitipkan hati pada seseorang, bisa saja dia meletakannya di laci pojok rumahnya, mengunci rapat-rapat lalu membuang kuncinya.
Tapi juga terlalu berisiko tidak menyerahkannya pada siapa-siapa. Ia ingin berlabuh, menikmati hempasan ombak dan tajamnya kerikil karang. Ia ingin terombang-ambing hingga saatnya tiba ia kan berakhir di tepian. Membuat hidup lebih berwarna, tak datar-datar saja.
Ada banyak jalan untuk seseorang pulang. Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk mencapai sebuah tujuan. Tapi benarkah ia ingin pulang dan mengembalikan titipan hati itu atau justru pergi dan membuangnya.