Impian dan Kemapanan


Untuk kesekian kalinya saya mempertanyakan hal ini, apa impian saya? Sejak lama saya mempertanyakan ini, hasilnya nihil, saya tak menemukan jawaban apa-apa.
Teman dan sahabat saya bilang ”mungkin belum nongol du, nanti juga muncul”, ”impian lo tuh ada di depan mata, sayang aja mata lo belum kebuka”, ada juga yang bilang gini ”ngapain ngeributin mimpi, mimpi itu bakal ilang saat lo bangun. Jalanin apa yang lo suka- titik”.
Setelah lulus kuliah dan memasuki dunia kerja, pertanyaan itu muncul lagi, bekerja sesuai mimpi atau sekedar alat menyambung hidup. Ironisnya, saya menjalani pilihan yang kedua. Setelah mengubek-ubek hati dan jiwa tentang impian, saya tak juga menemukan jawaban, hal yang paling realistis buat saya adalah kerja apa saja, sekedar menutupi status pengangguran. Meski pada akhirnya saya harus berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya karena nggak betah dengan pekerjaannya.
Bertemu dengan teman-teman kuliah dan SMA, sekedar temu kangen dan kongkow-kongkow selalu saja bergesekan dengan hal yang berbau pekerjaan. Hal yang satu ini rasanya sulit sekali keluar dari topik pembicaraan, selalu saja ada yang menyinggung. Dan tiap kali bersentuhan dengan hal ini, ujungnya hanya satu ”kemapanan”.
Sayangnya muara dari kemapanan itu adalah ”materi”, seberapa banyak kah materi yang kamu hasilkan dari pekerjaanmu selama ini. Dan tiap kali ditanya mengenai hal itu, saya speachless, nggak tahu mau ngomong apa.
Sampai sekarang saya suka geli kalau memikirkan hal ini, barometer hidup cuma diukur lewat materi. Bukan saya munafik, saya juga butuh uang. Tapi persoalannya bukan butuh atau tidak butuh tapi prioritas mana yang mau diambil. Rasanya sayang kalau hidup ini cuma untuk menumpuk uang.
Saya mempunyai beberapa teman yang mendedikasikan hidupnya bukan sekedar mencari uang. Selepas SMA, Mereka mengajar di sekolah-sekolah yang masih minim sarana pendidikan dan tenaga pengajar. Gaji yang mereka terima sangatlah terbatas, jauh dari kata cukup.
Hal yang membuat saya kagum, ketika mereka bilang “saya nggak terlalu memikirkan uang Du, semua pasti ada jalannya. Masa selama lima tahun mengabdi tidak ada satu atau dua jam yang lahir dari keikhlasan. Dan masa pengabdian ini tidak membekas apa-apa dalam diri saya, ga ada yang sia-sia Du”.
Saya memang tidak tahu apa impian saya, bahkan sampai saat ini saya nggak tahu harus mengejar apa. Tapi kalau dengan alasan itu saya harus banting stir dan bekerja hanya untuk mengejar materi, lebih baik saya tidak bekerja dan menjadi pengangguran. Karena itu, seringkali saya berpindah tempat kerja karena alasan tak nyaman, bukan saya banget. Meski orang tua dan temen-temen kompalin karena gaji yang saya dapatkan sangat lumayan untuk seorang fresh graduate.
Mungkin ini pilihan bodoh atau nekat, tapi saya bilang sama diri saya sendiri: lima tahun ke depan, saya ingin mencari jati diri saya, mencari pekerjaan yang saya banget, nggak peduli seberapa besar gaji yang saya dapat kalau nggak nyaman saya akan keluar. Kalau setelah lima tahun tak juga menemukan hal yang saya cari, saya akan memikirkan ulang, untuk terus maju atau banting stir. Saya selalu percaya, nggak ada yang sia-sia.
10:17/060911
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar