Sudah satu jam aku berbaring di kasur selepas mandi. Enggan rasanya
menuju PIM, tetapi janji adalah janji dan seorang pria pantang membatalkan
janji. Semalam, 15 menit pertama di bulan Desember telepon genggamku berbunyi. Sebetulnya
aku enggan mengangkat, tetapi pada panggilan kesepuluh aku menyerah. Penting,
pikirku. Jika tidak, dia tak mungkin
segigih ini.
Suaranya pelan, seperti berbisik. Menanyakan kabar adalah kalimat
keduanya setelah jeda tiga puluh detik dari kata hallo. Mungkin malam terlalu
dingin hingga membekukan semua kata dari mulutnya, atau memang jarak kita
terlalu jauh hingga kosa kata berhenti dalam
kerongkongannya. Bukan jarak satuan meter yang kumaksud, tapi jarak hati. Dan kamu
tau, jarak itu melebihi satuan meter yang ada di muka bumi.
Aku lalu mengambil segelas air hangat agar kebekuan diantara
kita mencair. Segelas pertanyaan tentang kabarnya, kesibukannya dan kedua orang
tuanya sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Perlahan kebekuan mencair,
kata-kata mulai meluncur dari bibirnya. Pertanyaan serupa dia lontarkan
kepadaku, tapi aku menjawab sekenanya. Entah
agak malas rasanya berbagi lagi dengan orang yang hampir aku anggap tiada.
Namun keadaan kembali membeku. Segelas air hangat yang
kubawa tak cukup mencairkan bongkahan es yang terlalu besar diantara kita. Aku
memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Hampir saja kututup, tiba-tiba dia menanyakan
waktu luang. Mengajak bertemu di sebuah kafe yang terletak di bilangan Selatan Jakarta,
tempat biasa kita menghabiskan waktu.
“Aku tak bisa menjanjikan waktu, pekerjaan baruku menuntut
lebih banyak waktu yang aku punya. Jika tidak terlalu penting, bicaralah
sekarang. Jika memang sangat penting, aku usahakan sabtu depan,” kataku kepadanya
yang dijawab dengan iya, sabtu depan.
Kini dia menagih janji yang kuucapkan minggu lalu. Aku tak
ingin membahas masa lalu. Meski sudah satu
tahun berlalu, rasa sakit dikhianati masih membekas kuat di hatiku. Aku memang
bukan orang baik, tetapi aku belajar mencintanya dengan cara yang baik. Aku
memang brengsek tetapi aku menghormatinya dengan tidak membagi hatiku dengan
orang lain. Tapi dia tidak pernah melihat hal itu. Dia menganggapku seperti
mainan, menyenangkan lalu meningggalkannya ketika bosan.
Kakiku menginjakkan tempat setahun lalu kita biasa menghabiskan waktu. Duduk di sudut kiri, dekat
jendela. Melihat jalanan padat memberi keasyikan tersendiri bagiku. Aku
memutuskan untuk duduk di sudut kanan, malas mengenang masa lalu. Namun kuurungkan
ketika melihatnya sudah duduk di sudut kiri sambil menghadap jendela. Pemandangan
langka bagiku. Dia tak pernah tepat waktu, tiga puluh menit adalah angka
minimal menunggunya. Dan lima menit adalah batas toleransinya menungguku. Lebih
dari itu, dia pergi. Marah.
Aku duduk, mengambil menu yang ada di atas meja. Mencari-mencari
menu yang pas. Hampir tiga menit aku menjatuhkan pandangan pada menu yang tak
kunjung kupilih.
“Kopi hitam saja ya, sudah kupesan koq untuk kamu,” katanya
pelan dan membuatku seketika mengangkat kepala dan melihat wajahnya.
“ Iya, terima kasih,” jawabku.
“Kamu masih marah kepadaku, masih tidak ingin bertemu dan menghabiskan
waktu bersama. Aku kangen masa-masa itu. Kamu kangen nggak? “
Aku diam, membiarkan pramusaji meletakkan kopi di meja. Menghirup
aromanya dan menyeruputnya perlahan. Aku sengaja tak menjawab, dari raut
mukanya terlihat ada kalimat yang tidak tuntas. Aku membiarkan dia menyelesaikannya terlebih
dahulu.
“Aku minta maaf pernah meninggalkanmu untuk seseorang yang
pada akhirnya meninggalkanku. Sejak putus
denganmu, aku tiga kali menjalani hubungan. Mereka semua brengsek. Mereka tidak
benar-benar mencintaiku. Aku salah, aku minta maaf tidak pernah menghargai
perhatianmu.”
Aku kembali menyeruput kopiku. Diam. Aku tak siap. Tak kukira
dia kan mengatakan hal ini. Aku pikir kita hanya ingin berdamai, tidak lebih. Aku
menarik nafas dalam.
“Ketika aku mengirimkan pesan singkat dan membalas pesan-pesanmu
setelah kita berpisah, artinya aku sudah memaafkanmu.”
“Kamu kan sudah memafkanku, apa artinya kita bisa bersama
seperti dulu?” tanyanya dengan senyum mengembang di bibirnya.
“Memaafkanmu adalah satu hal. Membangun kembali sebuah
hubungan adalah hal yang berbeda. Memaafkan bukan berarti mengembalikan keadaan
seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Memaafkan adalah cara kita berdamai
dengan masa lalu. Aku memang sudah memafkanmu. Tidak semua salahmu, aku juga salah tidak bisa
membahagiakanmu. Tapi sebaiknya kita menjadi teman baik, seperti permintaanmu setahun
yang lalu kepadaku.”
Dia terdiam, senyum di wajahnya menghilang. Buliran kecil
menetes dari wajahnya yang tertunduk. Aku membelai rambutnya dan mengucap kata
maaf. Lalu pergi dan tak ingin menoleh kembali.
0 comments:
Posting Komentar