Sabtu malam, pertengahan September tahun lalu, Icha
menelponku. Tawanya masih saja renyah seperti minggu lalu, seperti anak kecil
yang baru terlahir, tanpa beban dan tanpa penyesalan. Icha menceritakan apa
saja, mulai dari kuliah hingga kedekatannya dengan seseorang. Seminggu ini,
kami tak berkomunikasi, aku sibuk dengan liputan regular ekonomi dan laporan
utama. Sedangkan Icha, sibuk dengan kuliahnya di awal semester, banyak materi
baru yang harus dipelajarinya.
Aku hanya terdiam, menanggapi ceritanya dengan sesekali ooh,
lalu membiarkannya bercerita kembali. Setelah tiga menit, Icha terdiam. Ada
jeda beberapa detik sebelum kata-kata kembali keluar dari bibirnya. “Ada yang
salah ya, koq kamu diem terus sih dari tadi,” katanya melemparkan pertanyaan
kepadaku.
“Aku gak tau Cha harus ngomong apa, semua tiba-tiba gelap.
Aku gak bisa liat apa-apa. Semua rasanya perih, satu-satunya yang aku tahu,
hubunganku dengan Putri berakhir. Aku nggak ngerti, ketika bangun tidur aku
mendapati pesan singkat di WhatsApp.
Dia mengatakan sebaiknya hubungan ini berakhir sebagai teman saja,”
“Aku gak tahu harus sedih atau bahagia mendengarnya. Aku
tahu, kamu sangat mencintainya dan hubungamu dengan keluarganya sudah dekat.
Aku ikut sedih melihat kondisimu sekarang tetapi kalau boleh jujur aku bahagia,
setidaknya setelah ini kamu bisa melepaskan seseorang yang memang tidak ingin
lagi bersamamu. Hatinya sudah pergi sejak lama, hanya kamu yang terlambat
menyadarinya.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aku meminta untuk
mengakhiri pembicaraan ini, aku hanya ingin sendiri. Icha mengiyakan dan
menutup telponnya setelah memastikan tak ada lagi yang ingin aku ceritakan.
Aku menyeduh kopi hitam, gelas ketiga dan bungkus kedua
rokokku. Kamarku pengap dengan asap rokok. Jendela kamar kubiarkan tertutup
lengkap dengan gordennya. Lampu kamar kubiarkan mati, aku ingin sendiri, gelap
dan menikmati semuanya sendiri. Telpon genggamku berbunyi, beberapa pesan
singkat masuk. Kubiarkan saja tetapi tiba-tiba tanganku meraih dan membuka.
Dari Icha. Aku tuliskan kembali satu-persatu pesan singkatnya, agar kalian juga
bisa membacanya.
“Mungkin ini jawaban dari tuhan. Selama ini kamu
mempertanyakan bagaimana kejelasan hubunganmu. Dua minggu, setelah dia mengakui
perselingkuhannya, tak ada yang berubah kan? Kamu tetap menanyakan kabarnya
meski tak pernah sekali pun dia menanyakan kabarmu atau sekedar memberitahu
keadaannya,” pesan pertama.
“Beberapa hari dalam semingu kamu membawakan makan siang
untuknya, kamu tahu dia seringkali lupa makan jika sibuk dengan kerjaan. Pernah
kah dia melakukan untukmu? Bahkan di sela-sela pekerjaanmu, kamu selalu menurut
jika dia memintamu menemaninya menonton, pernah kah dia melakukannya untukmu?
Cuma kamu yang tahu jawabannya.” Pesan kedua.
“Jika dia mengatakan sedang berjuang mempertahankan
hubungannya denganmu dengan caranya sendiri, apa yang dia lakukan? Dia selalu
mencari tahu kabar seseorang tetapi tak pernah sekali pun menanyakan kabarmu,
kesibukanmu, apa itu yang dikatakan berjuang untuk menumbuhkan kembali
perasaannya,” pesan ketiga.
“Dia mengatakan jenuh karena kalian satu kantor dan sering
bertemu. Bahkan setelah kamu mengatakan siap resign agar hubungan ini tetap berjalan, dia menolaknya. Apakah itu
bukan alasan yang dibuat-buat. Pernah kah kamu memikirkannya?” pesan keempat.
“Sekarang semua terserah kamu. Aku tak ingin mencampuri apa
pun keputusanmu. Tapi, kapan pun kamu
butuh untuk berbagi, aku selalu siap. Aku menggaransikan seluruh waktuku untuk
mendengarkanmu,” pesan kelima dan terakhir.
Aku mematikan telpon
selulerku setelah mengirimkan pesan singkat ke Icha. Hanya ucapan terima kasih,
hanya itu.
*Terima
kasih Anisa, untuk pesan-pesan singkatnya