Jika ada sahabat pena, mungkin kita sahabat media sosial
(SocMed). Perjumpaan kita berawal dari twitter,
bertukar kontak melalui direct message,
berkirim pesan melalui WhatsApp, telpon-telpon rutin dan beberapa pertemuan panjang.
Tapi tunggu dulu, aku lupa kalau kita tak ingin melabelkan apa-apa atas
hubungan ini, cukup lah hati yang menilai. Seperti obrolan kita seminggu lalu,
kita tak ingin tergesa-gesa, kita punya banyak waktu untuk menilai, berfikir
dan kita menikmatinya.
Kamis pertama bulan September tahun lalu, jam sepuluh lewat dua menit kamu menelponku.
Satu menit pertama tak ada obrolan, hanya suara tawamu yang renyah dan ketukan
wajan dari penjual nasi goreng yang kutaksir lewat depan kostanmu. “Wait for a minute, aku deg-degan
bilangnya,” katamu dan tarikan nafas yang terdengar di telpon selulerku.
“Mulai hari ini, aku udah gak butuh dipukpuk lagi. Udah gak
butuh tissue lagi, udah bisa nikmatin hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang
pahit . Udah bisa senang-senang tanpa beban. Udah bisa lupain dia. Yey, I am fully recover now.”
“Akhirnya setelah tiga bulan, setelah obrolan-obrolan panjang
yang berakhir dengan tangisan. Setelah dua kali masuk rumah sakit, kamu bisa
tertawa seperti sekarang. Mari kita rayakan bersama,” kataku sambil mengetukkan
gelas kopi di telpon yang dibalas dengan ketukan gelas dari telponmu.
Malam itu aku ingin segera menemuimu. Melihatmu bahagia
seperti sekarang ini tentu hal yang istimewa. Tapi situasi tidak memungkinkan.
Aku masih harus berjibaku dengan deadline,
sedangkan Anisa menetap di Bandung. Seperti teman-temanmu, aku menanggilmu Icha.
Icha adalah mahasiswi semester tujuh
jurusan Teknik Sipil di salah satu
perguruan tinggi di Bandung. Aku tak pernah menanyakan kenapa dia memilih
jurusan itu, seperti aku pun yang tidak ingin membahas kenapa memilih jurusan
kominikasi.
Seperti peristiwa banjir yang melanda Jakarta belakangan ini,
kamu marah-marah. Menurutmu pembanguan infrastruktur yang tak terkonsep, drainase
yang tidak berfungsi dengan baik, penggunaan air tanah yang berlebihan menyebabkan dataran Jakarta semakin rendah sehingga
membuat siklus bajir lima tahunan tidak bisa dihindari. Sedangkan daerah
resapan air semakin berkurang, jumlah lubang biopori hanya 3 juta, padahal yang dibutuhkan Jakarta mencapai 35 juta.
Kesadaran masyarakat membuang sampah juga minim, mau jadi apa Jakarta. Aku hanya tersenyum, selain tak mengerti soal
infrasturktur, aku lelah membicarakan politik tanah air yang menjadi garapanku
sehari-hari.
“Bagaimana dengan hubunganmu, sudah ada kepastian atau kamu
masih berusaha untuk mempertahankan. Aku ingat kata Fablo Neruda, saat kamu
jatuh cinta yang terlihat hanya terangnya, sisi gelapnya tertutupi. Aku tak
menyarankan apa-apa, seperti katamu, hati yang tahu harus memilih apa. Mungkin
hatimu masih kusut, tunggulah sampai lurus sehingga kamu bisa memutuskan.”
Aku tak menjawab, dua minggu terakhir setelah kekasihku
mengakui telah berselingkuh dengan seseorang, aku memaafkannya. Aku masih ingin
memperjuangkan semuanya, tapi bagaimana sebuah hubungan yang dibangun atas dua
orang bisa kembali berjalan jika diperjuangkan seorang diri.
Aku masih ingat kata-katamu minggu lalu, “Jika dia
benar-benar menyesal, dia pasti berubah dan akan memperjuangkan hubungan
kalian. Jika tidak, keputusannya bersamamu hanya karena dia tak mendapatkan apa
yang dia inginkan. Mungkin hatinya sudah ingin pergi.”
Malam itu kita habiskan dengan obrolan panjang, deadline
tulisan tentu saja terbengkalai. Omelan redaktur pasti datang tetapi mendengar
tawamu yang renyah setelah tiga bulan terakhir tentu tak ingin aku lewatkan.
Untuk Anisa, yang tak butuh “dipukpuk” lagi.
ngga ada yg salah dari memperjuangkan hubungan. kalau berakhir baik, memang itulah tujuannya. kalaupun harus berpisah, biarkan perempuan itu menyesal karena menyianyiakan rasanya diperjuangkan dgn begitu hebatnya.
BalasHapusjadi, sekarang siapa yang butuh 'pukpuk'? hehee.
*kunjungan balasan nih, terima kasih sdh mampir ke blogku.
terima kasih juga komentarnya. paling suka sama surat pertama dan kedelapan semalam.
BalasHapus*mau bantu 'pukpuk'? he
*virtual pukpuk* :D
HapusSurat #1? Jadi, kita lg di fase yg sama nih? Haha.
pernah sama dis, sekarang waktunya menuliskan kembali. koq bisa ngerangkai kata-kata seperti itu. aku gak pernah kepikiran tuh?
BalasHapus