“Aku akan melamarmu bulan depan,” katamu sambil menggenggam erat tanganku. Aku tetap diam, menunggu kata-kata yang keluar setelah kalimat itu. “Jika projek besar ini kudapatkan, kita akan langsung menikah sebulan setelah lamaran berlangsung.”
Lagi-lagi, aku hanya diam. Tak ada sesuatu yang meletup
dalam dadaku. Hatiku tak seperti mercon yang siap meledak, ia seperti petasan
di pinggir jalan yang dibiarkan dingin. Kalau pun dibakar suaranya tak lagi
nyaring. Hatiku sepi-sepi saja, tak lagi
bergemuruh. Aku tetap tersenyum seperti biasa, seperti manusia kebanyakan yang
mendapat kabar gembira. Kamu tentu saja tak dapat membedakannya, mana senyum
tulus dan mana senyum dipaksakan. Kamu terlalu sibuk dengan kebahagiaanmu
sendiri.
Aku masih diam, mendengarkan semua andai-andai yang kauciptakan.
Mendengarkan impianmu membeli rumah setelah menikah, membangun keluarga kecil berdua tanpa campur
tangan orang tua kita. Kamu mengatakan akan pulang lebih awal, tidak lagi menghabiskan
waktu bersama teman-temanmu sepulang kantor seperti yang biasa kamu lakukan. Kamu
akan bekerja lebih giat, mengerjakan
beberapa projek dalam sebulan agar uangnya bisa ditabung untuk anak kita kelak.
Aku mendengarkanmu dan sesekali bertanya
ke hatiku, ‘kenapa aku tak bahagia mendengarnya’.