Kabari aku, Jika Semua Jika-mu habis


“Aku akan melamarmu bulan depan,” katamu sambil menggenggam erat tanganku. Aku tetap diam, menunggu kata-kata yang keluar setelah kalimat itu. “Jika projek besar ini kudapatkan, kita akan langsung menikah sebulan setelah lamaran berlangsung.”

Lagi-lagi, aku hanya diam. Tak ada sesuatu yang meletup dalam dadaku. Hatiku tak seperti mercon yang siap meledak, ia seperti petasan di pinggir jalan yang dibiarkan dingin. Kalau pun dibakar suaranya tak lagi nyaring.  Hatiku sepi-sepi saja, tak lagi bergemuruh. Aku tetap tersenyum seperti biasa, seperti manusia kebanyakan yang mendapat kabar gembira. Kamu tentu saja tak dapat membedakannya, mana senyum tulus dan mana senyum dipaksakan. Kamu terlalu sibuk dengan kebahagiaanmu sendiri.

Aku masih diam, mendengarkan semua andai-andai yang kauciptakan. Mendengarkan impianmu membeli rumah setelah menikah,  membangun keluarga kecil berdua tanpa campur tangan orang tua kita. Kamu mengatakan akan pulang lebih awal, tidak lagi menghabiskan waktu bersama teman-temanmu sepulang kantor seperti yang biasa kamu lakukan. Kamu akan bekerja lebih giat,  mengerjakan beberapa projek dalam sebulan agar uangnya bisa ditabung untuk anak kita kelak.  Aku mendengarkanmu dan sesekali bertanya ke hatiku, ‘kenapa aku tak bahagia mendengarnya’.

Aku tentu saja ingin menikah. Umurku sudah dua puluh lima tahun, usia yang cukup bagi seorang perempuan menikah. Aku tak mengatakan sudah matang dalam segala hal, baik materi dan emosional. Tapi bukankah sejalannya waktu kita terus bertumbuh dan aku memercayai itu. Orang tuaku tentu saja ingin segera aku menikah, tak ada orang tua yang ingin melihat anaknya sendiri di usinya yang senja.

Aku masih ingat saat kau mengatakan akan mengajakku liburan berdua ke Gunung Bromo, saat itu aku langusng memelukmu. “Jika projek pembangunan rumah sakit selesai, aku akan cuti dan kita langsung ke Bromo yah,” katamu waktu itu. Aku hanya mengangguk dan merebahkan kepalaku ke pundakmu sambil mengapit erat lengan kananmu. Ada kehangatan yang mengalir dalam hatiku.

Aku lebih menyukai gunung ketimbang pantai. Aku tak suka menyeburkan diri di air yang membuat tubuhku lengket karena kadar garam dalam airnya, juga tak suka sinar matahari yang menyengat sepanjang hari. Tapi yang membuatku bahagia tentu saja bukan karena kamu mengajakku liburan ke Gunung Bromo, tapi aku punya waktu yang banyak berdua dengamu. Jika kau mengajakku ke pantai, aku pun tak akan menolak selama berdua denganmu.

Projek rumah sakit selesai tepat waktu dan artinya, aku bisa liburan berdua denganmu. Tapi pada kenyataannya, kita tetap saja bermain dengan angan-angan. Kamu membatalkan rencana kita karena atasanmu memintamu untuk mengerjakan projek cabang rumah sakit itu di koita lain. “Aku tak punya pilihan, ini bagus untuk karirku,” katamu tanpa memedulikan kekecewaanku. Pernah kah kau berpikir, pekerjaan di dunia ini tak ada habisnya. Bisakah sejenak melupakan pekerjaanmu.

Setelah itu, hubungan kita berjalan seperti biasa. Menghabiskan satu atau dua jam di akhir pekan. sebelum kita menjalani hubungan ini, aku sudah tahu hanya akan mendapat sedikit waktu untuk bertemu dan aku menerima keadaan itu. Aku bahkan tak pernah memintamu menjemputku sepulang kerja, aku tahu kamu punya pekerjaan yang banyak dan senang berkumpul dengan teman-temanmu untuk melepas penat.  Aku tak pernah meminta lebih dan hanya marah jika kau menjanjikan satu hari bersamaku yang seringkali kau gagalkan.

Kamu pernah berjanji akan menemaiku di pernikahan kakakku. Kakak perempuanku satu-satunya karena aku hanya dua bersaudara. Tapi pada hari pernikahannya, kamu tak kunjung datang dan aku baru tahu satu hari setelahnya kalau kamu pergi ke luar kota karena ada pekerjaan di sana.

Obrolan mengenai lamaran sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Selalu berubah dengan alasan yang mampu lagi kuingat dengan baik. Aku sudah terlalu sering mendengarnya, terlalu capek memberi pengertian pada hatiku untuk tak kecewa. Malam ini kamu mengatakannya untuk kesekian kali dan aku sudah tak mampu lagi berharap dengan baik.

“Beritahu aku, jika semua jika-mu sudah habis,” kataku sambil melepas genggaman tanganmu lalu pergi meninggalkanmu.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar