Percakapan di Suatu Sore, Ketika Hujan Turun Tiba-tiba.




“Bagaimana nanti jika kita berpisah?” katamu sambil mengenakan jaket yang sebelumnya kamu simpan di batangan kursi.

Hujan tiba-tiba saja datang, deras, tanpa aba-aba. Segelas oranye jus yang baru dua kali kamu minum pun kamu biarkan begitu saja, lalu memesan secangkir cokelat hangat. Barangkali hujan seperti pemanggil kesedihan, menggerakkan saraf di otakmu menjadi sendu. Sebelumnya, Jakarta begitu panas. 34 derajat celcius, katamu setelah melihat aplikasi di telpon genggammu. Aku hanya mengiyakan, tak paham bagaimana aplikasi itu bisa menunjukkan panasnya kota ini. Obrolan kita mengenai cuti dan liburan pun berubah seketika, menjadi sebuah pertanyaan tentang perpisahan.

 “Mungkin kita akan saling membenci, tidak lagi saling berkomunikasi dan mengutuki diri,” kataku sekenanya.

 Aku malas membahas perpisahan. Perpisahan adalah hal yang paling aku hindari dalam sebuah percakapan meski dalam sebuah hubungan kemungkinan itu selalu datang. Tapi aku ingin menikmati hubungan ini, kalau pun perpisahan datang biarlah dia datang dengan sendirinya tanpa harus diawali dengan kemungkinan-kemungkinan yang kita bayangkan.

“Tak bisakah kita berteman saja, tak perlu saling membenci”

“Bisa saja. Mungkin kita akan menertawakan perpisahan itu. Tapi, jika harus memilih, aku memilih pilihan yang pertama. Aku akan membecimu dan tidak akan lagi menghubungimu.”

Aku perlu jeda, semacam penanda bahwa baru saja melewatkan satu hal dan tidak ingin memulai hal lain. Mungkin kita bisa saja menjadi sepasang sahabat tapi itu nanti. Aku ingin menikmati momen kehilangan, momen kesendirian dan momen terluka.

“Ya, sebaiknya kita saling membenci dan berhenti saling berkomunikasi jika berpisah nanti.”



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar