Hari ini, aku ditanya dengan
pertanyaan yang sama oleh lima orang berbeda dan mungkin beberapa hari ke
depan, akan banyak pertanyaan serupa kepadaku. “Kenapa kamu bisa jatuh hati
sama perempuan sombong itu?” begitu pertanyaan mereka. Ada yang mengganti kata
“jatuh hati” dengan suka dan ada pula yang mengganti kata” kamu” dengan
“Loe”. Tapi intinya sama, mereka ingin
tahu kenapa aku bisa menjalin hubungan dengan Namira.
Seperti mesin penjawab otomatis, aku
menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban seragam. “Aku justru menyukai
kesombongannya,” begitu jawabanku kepada mereka tanpa lupa sebelumnya memberi
senyum agar terkesan ramah.
Aku mengenal Namira dua minggu lalu,
tepatnya satu minggu memperhatikannya
dan satu minggu perlahan-lahan bisa mendekatinya. Aku dan Namira satu kantor,
namun posisi kami yang bersebrangan membuat aku baru melihatnya dan belakangan
ini mulai memperhatikannya. Aku bekerja sebagai desain grafis di sebuah
perusahaan advertising dan Namira mengisi posisi manager Accouting. Aku berhubungan dengan desain-desain dan dia
berhubungan dengan angka-angka, dua hal yang sangat berbeda.
Perjuampaanku dengan Namira sungguh
biasa saja. Aku sedang merokok di dekat pintu masuk kantor lalu Namira lewat di
depanku. Tidak ada kata permisi atau senyuman yang keluar dari bibirnya ketika melewatiku,
pandangannya lurus ke depan dan tidak memerhatikan sekelilingnya. Sejak saat
itu, setiap pagi aku memutuskan untuk selalu merokok di dekat pintu masuk
kantor agar bisa melihatnya.
Aku tak pernah berpura-pura tidak
melihatnya. Kapan dan dimana pun dia berada aku selalu menunjukkan bahwa aku
memperhatikannya. Saat berpapasan di lobi, saat merokok di area bebas rokok,
bahkan saat sedang makan siang di tempat makan dekat kantor aku menatapnya
lama. Saat mata kami saling bertemu, dia seringkali mengalihkan sedangkan aku
terus menunggu kapan lagi tatapan kami
akan saling beradu.
Sore itu, tepat tujuh hari aku
memperhatikannya, hujan turun sangat deras. Bulan November, hujan turun hampir setiap sore. Seperti
biasa, aku merokok di dekat pintu masuk kantor sambil menunggu Namira yang akan
pulang. Dari satpam kantor, aku tahu bahwa mobil Namira sedang masuk bengkel
karena itu aku menyiapkan payung agar bisa mengantarnya mencari taksi saat
pulang. Aku pun memberikan sebungkus rokok kepada satpam, sebagai ucapan terima
kasih sudah meminjamkan payung dan memintanya berjanji untuk tidak mengantarkan
Namira mencari taksi. Bahkan, aku memberikan sebatang coklat kepada
resepsionis, sebagai sogokan agar tak memsankan taksi dan mengatakan telpon kantor
rusak. Aku menyiapkan banyak hal untuk bisa mendekati Namira.
Namira berdiri di depan pintu, matanya
menyisir setiap sudut halaman kantor, mencari satpam agar diantarkan mencari
taksi. Aku –yang sengaja menunggunya- menawarinya untuk mencari taksi bersama
dan dia mengiyakan. Aku sengaja meminjam payung berukuran kecil agar kami dapat
saling berdekatan. Namun Namira rupanya menjaga jarak, maka aku condongkan
payung ke arah kiri agar tubuhnya tidak kebasahan dan itu membuat sisi kanan
tubuhku terkena tetesan hujan.
Saat taksi berhenti, aku mengikutinya
masuk dan mengatakan agak sulit mencari taksi saat hujan lebat seperti ini
terlebih tujuan kami sama. Awalnya dia agak kaget namun setelah itu diam saja.
Aku tak ambil pusing dengan reaksinya, ini adalah peluang emas yang tidak akan aku
sia-siakan.
Sepanjang perjalanan, kami hanya diam.
Sesekali aku mencoba untuk mengajakanya mengobrol tapi dia menjawab singkat. Maka
kuputuskan untuk diam dan membaca buku. Aku mengeluarkan Norwegian Wood karya
Haruki Murakami dari dalam tas. Meski sudah membacanya hampir 10 kali, aku
tidak pernah bosan. Bahkan setiap kali selesai membacanya, aku selalu merasa
berada di dunia yang asing dan ingin segera bunuh diri.
“Kamu membaca Murakami juga,” pertanyaanya membuatku kaget.
Untuk pertama kalinya dia bertanya.
“Iya, ini kesebelas kalinya aku
membaca Norwegian Wood dan tidak pernah sekali pun bosan.”
Perbincangan kami pun berlanjut
tentang tokoh-tokoh di dalam buku tersebut. Tentang Watanabe yang begitu
mencintai dua perempuan dengan cara yang berbeda. Mencintai Naoko dengan lembut dan mencintai Midori yang
mampu membuat hidupnya berjalan normal. Perbincangan seketika berhenti saat
taksi berhenti di depan apartemen. Dia turun dari taksi, saat hendak menutup
pintu mobil dia manawariku untuk minum teh hangat dan melanjutkan obrolan yang
sempat terhenti. Tentu saja aku mengiyakan lalu membayar argo taksi dan ikut ke
apartemennya.
Dia menawariku handuk dan baju ganti
milik kakaknya. Untuk tawaran pertama, aku menerima dan tawaran kedua aku ganti
dengan meminta secangkir kopi hitam tanpa gula. Dia membawakanku handuk, lalu
pergi kembali untuk membuat kopi. Aku lalu menuju balkon untuk merokok, tak
lama dia datang dengan menbawa secangkir kopi dan satu bir kaleng.
“Aku tak pernah duduk-duduk sambil
merokok di balkon ini, bahkan aku malas membersihkannya karena itu agak sedikit
berdebu,” katanya sambil membuka bir kaleng itu dan meminumnya.
“Mungkin karena kamu takut tiba-tiba
bulan menjadi dua dan kamu tidak bisa kembali ke dunia nyata,” kataku sambil
membicarakan IQ84 dari Murakami.
“Hahaha, iya. Tak enak kan terjebak di
dunia IQ84.”
Malam itu kami resmi membicarakan Murakami.
Betapa berterima kasihnya aku pada Murakami, tanpanya aku tak tahu harus
memulai pembicaraan dari mana. Pukul 10 malam aku pamit mengingat harus pulang
ke rumah.
# # #
Seperti biasa, setiap pagi aku masih
menunggunya di dekat pintu masuk kantor sambil merokok. Namira lewat begitu
saja seperti tidak pernah ada pembicaraan semalam. Aku sedikit kesal tapi tetap
diam dan memperhatikannya lalu berharap dalam
hati nanti sore hujan turun dan bisa kembali mengantarnya mencari taksi lalu
mengobrol di apartemennya.
Harapanku terkabul, hujan turun sore
itu, aku bergegas menunggunya di depan pintu kantor dan menyiapkan payung yang
kupinjam dari sekuriti kantor. Tidak seperti kemarin, tiba-tiba saja Namira
memintaku mengantarkannya mencari taksi dan pulang bersama. Padahal, kupikir
dia akan bersikap dingin seperti tadi pagi.
Di dalam mobil, kami lebih banyak
diam. Aku sengaja tak megeluarkan buku, hanya melihat jalanan yang basah
tertimpa hujan dan para pegendara motor yang berhenti di bawah jembatan layang
menunggu hujan reda. Aku menenggelamkan diri dalam banyangan masa lalu, hujan
selalu membawaku pada hal-hal yang berbau kenangan. Dan tepukan Namira di bahuku
membuyarkan semua kenangan itu. Taksi sudah berhenti di depan apartemennya dan
seperti kemarin, dia menawariku minum secangkir teh di apartemennya.
Sesampainya di apartemen, aku langsung
menuju balkon. Namira pamit sebentar untuk mengganti baju kerjanya dan kembali
dengan enam kaleng bir di tangannya. Sebelumnya aku sempat menolak tawaran kopi
darinya, aku ingin minum bir malam ini. Aku menyukai Namira dengan kaus
gombrong dan celana pendeknya, lebih santai dan lebih manis tanpa riasan di
wajahnya.
Kami tak membicarakan lagi novel-novel
Murakami, tepatnya aku yang enggan memulainya. Cukup lah dia berjasa untuk
membuka obrolanku dengan Namira kemarin, selebihnya aku tidak mau berhutang
lebih banyak kepada penulis Jepang itu.
“Apa aku terlihat begitu sombong?”
katanya sambil mengubah posisi duduknya menghadapku.
“Aku menyukai kosembonganmu dan itu
membuatmu semakin menarik,” kataku sambil menatapnya.
“Aku terlalu lemah karena itu aku
bersembunyi di balik kesombonganku. Aku hanya ingin menjaga jarak dengan banyak
orang, aku hanya gadis yang kesepian. Apa salah jika aku berbuat seperti itu.”
“Tidak ada yang salah Namira, yang
salah jika kamu bersikap sombong dan berharap orang-orang berusaha tetap dekat
denganmu. Itu dua hal yang bertabrakan. Jika kamu menikmatinya, jalani saja,
ini hidupmu dan lakukan sesukamu.”
Entah siapa yang memulai dan siapa
yang mendekat, tiba-tiba saja wajah kami hanya terpaut dua senti. Napas kami
saling menyentuh wajah masing-masing, lalu kami berciuman. Awalnya hanya beberapa detik lalu
kami terus bercumbu tanpa henti dan menuntuskannya di dalam kamar.
# # #
Kami memasuki kantor bersamaan. Aku
meminjam baju kakaknya karena tak mungkin pulang dan bergenti baju di rumah. Beberapa
pasang mata melihat ke arah kami, tapi tak ada seorang pun yang bertanya.
Setelah kami berpisah di pintu masuk, beberapa temanku bertanya mengenai
kedekatan kami. Aku hanya tersenyum dan menjawab sekenanya.
Pada jam kerja kami memutuskan untuk
tidak berinteraksi langsung. Aku sendiri enggan menjadi bahan pembicaraan
banyak orang dan Namira juga sependapat denganku. Sore hari, selepas jam pulang
kantor hujan tak juga turun tapi aku tetap menunggunya di depan pintu kantor
dan pulang bersama. Semenjak itu, kami sering pulang bersama dan menghabiskan
waktu di apatemennya.
Sabtu malam, tepat satu minggu aku dekat dengannya dan dua
minggu memperhatikannya, aku datang ke apartemennya di bilangan Kuningan. Aku
tak tahu harus menghabiskan waktu dengan siapa jadi kuputuskan untuk datang
menemaninya menghabiskan berkaleng-kaleng bir. Sebelum ke tempatnya, aku
membeli dahulu selusin bir kaleng. Aku juga tak memberi tahunya perihal
kedatanganku. Semacam berjudi saja, jika dia ada di tempat kami bisa mengobrol
sepanjang malam, jika tidak, aku kan pulang dan menghabiskan sendiri semua bir
yang sudah kubawa.
Aku mengetuk pintu beberapa kali dan
Namira membukakan pintunya. Di belakangnya seorang pria menghampiri lalu memeluk dirinya sambil menanyakan
keperluanku datang ke tempatnya. Aku menyerahkan selusin bir yang kubawa dan
mengatakan hanya pengantar bir dari toko di bawah apartemen. Lalu pergi
meninggalkan apartemen itu.
Dalam perjalanan pulang, pesan singkat masuk ke dalam ponselku. “Aku
tidak mencintainya meski kami sudah bertunangan. Aku berpura-pura mencntainya
karena tak bisa menyakiti hati orangtuaku dan baju yang kupinjamkan kepadamu
adalah miliknya. Maaf sudah membohongimu. Tapi aku benar-benar menyukaimu meski
aku tetap akan memintamu untuk tidak pernah lagi menegurku,” itu isi pesan singkat yang dia kirimkan kepadaku.
Aku menaruh kembali telpon genggamku ke dalam saku celana dan tidak berniat
membalasnya.
Aku tak sedih, apalagi patah hati. Aku
hanya menyukai kesombongannya dan tidak pernah mencintainya. Aku mulai
memikirkan akan jatuh cinta kepada siapa. Apakah akan mencintai gadis sombong
lagi atau gadis lain. Mungkin gadis tomboy, mungkin juga gadis berwajah
oriental. Sebelum sampai di rumah, aku membeli selusin bir kaleng dan berniat
menghabiskannya sambil memikirkan jatuh cinta kepada gadis tomboy atau gadis
berwajah oriental.
Kamu udah skecth wajahnya Namira belum? :)
BalasHapusbelum dan belum pernah kepikiran sebelumnya..:D
BalasHapus