Perpisahan (yang) Sunyi



Aku keluar dari ruang Kenanga, melewati lorong panjang dimana terdapat ruang-ruang yang diberi nama jenis bunga saling berhadapan. Ruang Kenanga berada paling ujung dari dari ruang lain, jika kau ingin keluar, kau harus melewati lorong yang cukup panjang untuk sampai di depan. 

Beberapa orang tertidur di depan pintu ruangan, mungkin sedang menunggu anaknya, cucunya atau saudaranya. Termos dan beberapa gelas plastik berisi ampas kopi dibiarkan tergeletak di ujung kepalanya. Beberapa bungkus cemilan juga dibiarkan saja,  kantuk membuat orang malas membuang sampah  ke tempatnya, padahal jaraknya tak sampai lima langkah dari tempat mereka berbaring.

Seorang resepsionis sedang tertidur dengan wajah dibenamkan di atas meja. Tangan kanannya menjadi tumpuan dahinya, pengganti bantal. Seragam berwarna hijau daun pisang tertutup rapat oleh balutan jaket berwarna hitam, orang lain akan berpikir dia keluarga pasien jika saja bagian seragamnya tidak menyembul dari ujung jaketnya. Hujan dan ruangan ber-Ac saling melengkapi dinginnya malam. Membuat siapa saja khusuk dalam lelapnya. 

Di depan pintu, seorang satpam berusaha tersenyum sambil menahan kantuk. Kasian, pikirku. Bahkan, pada malam hari, dimana orang-orang sedang terlelap dia harus menjalankan SOP perusahaan yang mengharuskannya memberi senyuman kepada semua orang. Dia berdiri, berniat membukakan teralis besi, namun kusuruh duduk kembali, toh aku bisa membukanya sendiri.

Aku menghampiri warung tepat berada di depan gerbang rumah sakit. Memesan secangkir kopi hitam dan mengeluarkan sebungkus rokok putih dari saku jaketku. Mengeluarkan satu batang dan menyulutnya, menghisapnya perlahan lalu menghembuskannya. Kepulan asap keluar dari mulutku, berputar-putar di depan wajahku lalu terbawa angin ke atas. Pencahayaan warung ini kurang bagus, hanya dua  lampu kuning dan membuat bara di ujung rokokku seperti titik merah yang melayang-layang.

“Jenguk siapa?”

Aku menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan pertanyaan itu untuk siapa. Namun tidak ada siapa-siapa di warung kopi itu, kecuali aku, seorang wanita di depanku dan penjaga warung yang duduk di belakang meja dagangannya sambil menguap tiada henti.

“Nunggu ponakan, masuk rumah sakit tadi subuh,” kataku sambil terus mengepulkan asap rokok dan membuatnya bulan-bulat namun selalu gagal.

“Bosen yah di dalam? Bau obat,” lanjut perempuan itu.

“Siapa sih yang suka dengan rumah sakit. Bau obat dan bau kehilangan. Mungkin cuma dokter dan perawat yang suka rumah sakit. Barangkali, kalau tidak mungkin mereka tidak akan bekerja sebagai juru medis disana.”

“Yah, sayangnya tidak semua dokter suka bau rumah sakit, aku salah satunya.”

“Kenapa jadi dokter?” tanyaku penasaran.

“Menjadi dokter dan tidak suka bau rumah sakit dua hal berbeda bukan. Dokter itu profesi yang menyenangkan dan rumah sakit kebalikannya. Ada ikatan kuat antara dokter dan rumah sakit tapi tidak melulu terikat bukan.”

Dia menyulut rokok, dua puntung sudah mendarat di asbak.

“Mungkin bukan rumah sakit yang salah tapi cara kita memahami konsep rumah sakit yang salah. Suatu saat nanti,  aku akan membuat rumah sakit sendiri. Tidak seperti rumah sakit yang pucat dan bau obat. Tempatku nanti akan berwarna-warni dan penuh dengan mainan. Wangi permen dan bunga. Setiap anak akan disesuaikan tempat kesukaannya. Mungkin tidak semua terpenuhi tetapi menghilangkan aroma angker itu wajib.

“Ide yang menarik tapi kalau boleh memilih, semenarik apa pun rumah sakit, aku berharap tetap sepi. Tidak ada yang menyenangkan dari rasa sakit,” jawabku sekaligus pamit meninggalkannya yang sedang menyulut sebatang rokok lagi.

Aku kembali melewati teralis besi, satpam yang kujumpai kini sudah tertidur pulas. Resepsionis yang tadi tertidur juga sudah bangun rupanya. Mungkin buang air kecil atau jadwal shift kerjanya sudah selesai.

Di ruang Melati, aku berhenti sejenak. Nenekku pernah dirawat di sana setahun lalu, tubuhnya kejang-kejang, pucat dan bibirnya kaku. Seluruh keluarga masuk satu persatu, mengatakan ikhlas jika harus melihatnya pergi. Aku memegang erat kakinya, dan mengecupnya. Sebagian dari kami mungkin berbohong, tidak mudah mengikhlaskan seseorang pergi untuk selamanya.

Tiba-tiba pintu ruang Melati terbuka, membuyarkan ingatanku akan nenek. Seorang suster  dengan wajah datar menahan kantuk  keluar dari ruangan itu. Aku memandangnya sekilas, dari jaketnya kutahu, dia resepsionis yang tadi tertidur di meja kerjanya. Pintu dibiarkan sedikit menganga, aku hendak menutup namun dari celah kecil itu, aku bisa melihat jasad di tempat tidur ditutupi kain putih. Tidak ada tangis, tidak ada suara gemuruh dari dalam ruang itu. Hanya suara lirih dari mesin pendingin udara. Perpisahan yang sunyi.

Aku merapatkan jaketku, menelusuri lorong panjang, tempat dimana ruangan bernama bunga-bunga saling berhadapan.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

2 komentar:

  1. Ada kekurangan huruf. Edit ya biar enggak hilang.

    Hilang tata kata

    BalasHapus
  2. okesip, banyak typo rupanya..he

    BalasHapus