Menebus Rasa Bersalah #Anisa


Pada dirimu, tersimpan satu bentuk cinta. Dia tak pernah menjelma dalam wujud siapa-siapa.

Sudah hampir satu tahun saat kepulanganmu dari Amerika untuk pertukaran pelajar, namun tak pernah sekalipun aku memberanikan diri menemuimu. Bahkan sekadar meminta maaf, aku tidak berani. Aku terlalu banyak menerka-nerka, terlalu banyak menganalisa, pikiranku terlalu banyak dikhawatirkan banyak hal dan pada akhirnya membuatku hanya duduk sambil meminum segelas kopi dan menghisap berbatang-batang rokok.

Rasa bersalah yang terlalu besar, terkadang membuatmu lumpuh. Rasa itu pula yang membuatku lumpuh, tak berani menyapa, bahkan melalui pesan singkat.

Pernah satu kali aku pergi ke Bandung, mencoba memberanikan diri bertemu denganmu, namun aku hanya berani melihatmu dari jauh. Sebelumnya, kuhubungi sahabatmu untuk menanyakan dimana posisimu dan sekaligus memintanya untuk merahasiakan hal ini. Aku tak ingin kamu tahu, sahabatmu membantuku untuk menemui dirimu.

Melihatmu duduk dengan seseorang di rumah kopi yang berada di Dago pakar, kakiku lemas seketika. Aku berusaha berpikir positif, menguatkan hati dan pikiranku dan mengatakan pada diriku seniri, dia hanya temanmu, teman ngopimu atau teman ngobrol untuk menghabiskan waktu. Namun melihatmu menyandarkan kepalamu di bahunya, melihatmu menyelipkan tangan kirimu di tangan kanannya, membuatku nyali yang sudah kubangun susah payah runtuh seketika.

Lihat kan, bagaimana bodohnya aku. Aku hanya menerka-nerka, bahwa lelaki itu  adalah pasanganmu tanpa pernah memberanikan diri sekadar bertanya siapa dia dan apakah dia pacarmu. Aku terlalu cepat memutuskan. Lagi-lagi aku terlalu takut untuk sekadar memastikan.

Setelah peristiwa itu, aku memutuskan untuk mencoba menjalani hubungan dengan seseorang. Mencoba mengakhiri harapan yang terus tumbuh dalam diriku. Dia-pacarku-gadis yang baik, usiaku terpaut jauh dengannya. Masih kuliah dan  sedang mengerjakan tugas akhirnya. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar mencintainya. Aku hanya merasa dia ada, selalu ada dan kuputuskan untuk menjalani sebuah hubungan dengannya.

Bagaimana menebus sebuah kesalahan terhadap seseorang yang tidak lagi di sismu? Sejujurnya, aku tidak tahu.

Aku mencoba menebus kesalahanku kepadamu dengan melabeli hubungan kami dengan kata pacaran. Aku tak mau mengulangi kesalahan kita yang terlalu naif membiarkan semua mengalir tanpa kejelasan lalu rasa kehilangan hadir perlahan-lahan.  Kamu tahu, aku yang selalu cuek berusaha menjadi seseorang yang penuh perhatian. Setiap kali aku cuek, aku teringat dirimu, lalu segera saja kukirmkan pesan singkat kepada kekasihku itu. Aku bagitu rajin mengirimkan pesan singkat kepadanya, sekadar memastikan dia baik-baik saja.

Hubunganku dengannya harus berakhir, hanya dalam hitungan bulan. Dia merasa perhatianku berlebihan. Aku terlalu terobsesi menebus kesalahan kepadamu sehingga lupa, orang yang ada di sisiku saat ini bukan dirimu. Bukan kamu.

Aku lupa bagaimana cara memperlakukan dia sesuai porsinya. Aku menempatkan dia sebagai dirimu, seseorang yang menyukai perhatian. Aku lupa bagaimana cara mencintai orang lain, yang kulihat, selalu tentang kamu.

Saat hubunganku dengannya berakhir, aku sedih. Awalnya kupikir karena aku sangat mencintai dia, namun aku salah. Aku sedih karena gagal mempertahankannya, Aku gagal menepati janjiku kepadamu untuk mempertahankan pasanganku. Aku gagal membuktikan diriku mampu menebus kesahanku kepadamu.

Aku teringat perkataanmu malam itu, kita tak pernah menemukan cinta yang sama pada diri orang lain. Jadi, kenapa harus menyamakan seseorang dengan orang lain.

Beberapa tulisan lainnya tentang #Anisa:
1. Pengecut 
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar