Mengantar Hujan, Menyambut Kemarau


Aku memandangi Ibu yang sedang berdiri di halaman belakang rumah sambil mengadahkan tangan ke langit. Mulutnya komat-kamit, kusebut begitu karena aku tak paham apa yang dibicarakannya dan bahasa yang digunakannya pun terdengar aneh. Jarakku dengan ibu tak lebih dari tiga meter, aku sedang duduk di saung tempat kami menghabiskan waktu bersama jika sore tiba. Sekadar bercakap-cakap atau mengerjakan kesibukan masing-masing.

Tiba-tiba ibu bersimpuh, tangannya masih saja mengadah ke langit. Aku hampir saja turun dari saung dan hendak menghampirinya. Kupikir, ibu kelelahan dan hendak jatuh tapi telapak tangan kanannya melambai ke belakang, memberi isyarat untukku agar diam saja dan tak perlu mencampuri urusannya.  Matahari terik sekali sore itu, saat ibu menjatuhkan kepalanya di atas rumput, hujan turun satu-satu. Tak ada awan gelap, tak ada mendung, matahari masih saja terik dan hujan tetap turun dengan tenangnya. 

Aku bergegas mengambil payung yang menggantung di batang saung. Masuk ke dalam rumah dan mengambil handuk. Dari pintu belakang rumah, kutatap ibu yang masih bersimpuh, membiarkannya basah diterjang rintik hujan yang tak juga menderas. Aku tak berani menghampirinya, aku pun tak paham, isyarat seperti apa yang akan ibu berikan untuk membolehkanku menghampirinya, karena itu, aku diam saja.

Kepalanya kini terangkat. Tangan kananya membasuh muka,  mungkin  membasuh air hujan yang  jatuh di wajahnya atau membasuh air yang mengalir di pipinya. Pada gerakan tangan kesekian kalinya, aku menghampiri ibuku, kubentangkan handuk di belakang punggungnya dan meletakkannya di atas kepalanya. Aku tak berani menatap wajahnya, aku hanya memberikannya handuk lalu pergi meninggalkannya.

Aku kembali duduk di saung, menatap layar laptop dan berusaha mengenyahkan prasangka-prasangka yang memenuhi otakku. Namun, pertanyaan-pertanyaan tentang ibu semakin kuat memenuhi otakku, semakin banyak berkeliaran. Kenapa ibu, apa yang dilakukannya, kenapa aku tak boleh tahu dan rentetan-rentetan pertanyaan lainnya yang mulai tak rasional.

Ibu melewatiku dengan tenang, masuk ke dalam rumah dengan handuk yang tetap menutup kepalanya. Kubiarkan saja dia lewat meski kesal karena seolah tak  acuh terhadapku. Tak bisakah dia duduk sebentar saja dan meyakinkanku bahwa keadaaannya baik-baik saja. Meski kutahu dia tidak baik-baik saja, setidaknya, sedikit kebohongan yang terlontar dari mulutnya mampu mengurangi rasa cemasku.

Aku hendak masuk ke dalam rumah, ingin bertanya langsung kepadanya, namun ekor mataku menangkapnya yang sedang berdiri di balik pintu belakang rumah. Berjalan ke arahku dengan dua cangkir minuman. Aku tetap berpura-pura menatap layar monitorku, bersikap seolah biasa saja dan tak pernah terjadi apa-apa. Kupikir, sebaiknya ibu bercerita sendiri tanpa perlu kutanya atau jika aku harus bertanya, akan kupilih waktu yang tepat, tidak hari ini.

“Dia kekasih ibu, maaf, mantan kekasih ibu dulu,” katanya sambil meletakkan dua gelas teh yang masih mengepul dan menyodorkannya satu di hadapanku.

Aku menatap wajahnya, sikapnya tenang. Aku hanya  mengernyitkan dahi, tak mengerti apa yang barusan diucapkannya. Kubiarkan saja dia terdiam dan menunggu kalimat selanjutanya.

“Delapan  tahun sekali, pada penghujung musim hujan, dia datang Nak. Menemuiku untuk sekadar melepas rindu. Memastikan keadaanku baik-baik saja. Memintaku ikut bersamanya dan seperti yang kamu lihat barusan, aku menolaknya dan hanya melepasnya pergi,” lanjut ibuku dengan raut wajah lesu.

Aku menutup layar laptopku. Meski terdengar aneh, ini pembicaraan yang serius dan aku berhenti untuk berpura-pura tak peduli pada ceritanya. “Aku tak paham Bu, ceritakan lebih detil.”

“Dulu, dulu sekali Nak, saat ibu berusia 17 tahun, ibu mencintai seorang pemuda. Awan, namanya. Dia pemuda yang baik, seorang nelayan.  Yatim, karena ayahnya meninggal ditelan ombak saat usianya masih 10 tahun. Dia giat bekerja untuk menghidupi ibu dan kedua adiknya.

Pertemuan ibu dengannya saat libur sekolah tiba. Ibu bersama dua teman-teman memutuskan untuk berlibur ke laut, kami keasikan bermain hingga tak sadar, ada ombak besar datang tiba-tiba dari belakang dan kaki kami tak mampu menahan gulungan ombak yang datang tiba-tiba itu. Kami terseret arus, saat itulah Awan  dan nelayan lain berhasil menyelamatkan ibu dan kedua teman-teman ibu. Saat itu lah ibu jatuh hati kepadanya.

Pertemuan itu menjadi awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Hubungan kami berjalan secara rahasia. Ibu takut, jika ayah mengetahuinya, dia akan menyuruh oarang-orangnya untuk mencelakai Awan.  Ayah tak mungkin mengizinkan ibu menjalani hubungan dengan seoarang nelayan. Kakekmu orang terpandang di desa dan tidak mungkin menyerahkan anak gadis satu-satunya pada seoarang nelayan miskin.

Tapi kamu tahu Nak, sepintar-pintarnya orang menyembunyikan kebohongan, akhirnya ketahuan juga. Dari mulut-mulut para nelayan yang sering melihat kami berjalan di pantai, kakekmu tahu hubungan kami. Tak lama setelah dia mengatahui hubungan kami,  lima orang anak buah kakekmu membawa Awan ke rumah. Ibu hanya mampu menatapnya dari celah pintu dapur yang sedikit terbuka. Mbok Min, pembantu rumah dan nenekmu memegang kuat tangan ibu. Ibu tak mampu bergerak, bahkan untuk mengusap wajah Awan  yang pebuh lebam pun tak bisa.

Malam itu juga, Ayah membawa  Awan pergi. Entah kemana. Banyak yang mengatakan, Ayah membawanya ke puncak gunung dan ada pula yang mengatakan, Awan dibawa ke pinggir sungai, mungkin dibunuh lalu dihanyutkan. Sejak saat itu, ibu tak pernah lagi tahu kabarnya,” kalimatnya berhenti. Pelupuk mata ibu basah, aku hanya diam dan menyodorkan tissue di atas meja. Ibu menolaknya, menghapus sudut matanya yang basah dengan punggung tangan kanannya.

Kakekmu melakukan kesalahan besar Nak, dia membawa pergi ayahmu dan tidak mengetahui kalau ibumu ini sudah mengandungmu tiga minggu. Namun, dengan kekuasaannya yang dimiliki, dia mencarikan suami untukku. Memaksa temannya untuk menikahkan putranya dengan ibu. Ibu manut saja, tak ada yang bisa dilakukan seorang perempuan, Nak. Dia harus tunduk pada kekuasaaan laki-laki. Perempuan saat itu hanya bisa menangis dan seperti perempuan lainnya, ibu pun hanya menangis tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Delapan tahun setalahnya, Awan datang menemui ibu. Dia menceritakan kejadian malam itu. setelah tubuhnya babak belur dipukuli orang-orang suruhan kakekmu, dia dibawa ke puncak gunung. Ayah ingin menghabisinya, lalu menguburkannya di puncak bukit. Namun, guru ayah, orang sakti menahan amarah ayah dan mengatakan nasib sial akan menimpanya jika dia membunuh orang. Berkat orang sakti kepercayaan kakekmu, Awan dikutuk menjadi hujan dan hanya bisa menemui orang-orang yang dia cintai setiap musim pengakhir hujan, delapan tahun sekali.

Delapan tahun sekali, di penghujung musim hujan, Awan datang menemuiku dalam bentuk air, namun tak berwujud. Aku tak bisa menatap jelas wajahnya, tubuhnya tapi aku bisa merasakan pelukan dingin yang merambat di tubuhku. Dia-awan- selalu memintaku untuk pergi bersamanya, menjalani sisa hidup berdua, seperti yang kami impi-impikan. Tapi aku selalu menolaknya.

“Kenapa ibu tidak pergi saja dengan Awan?” bodoh sekali, kenapa aku mengatakan begitu, bukankah itu sama saja menyuruh ibu meninggalkanku, meninggalkan Ayah.

“Karena kamu Nai, ibu tidak mungkin meninggalkanmu. Ibu bisa saja pergi jika tidak memilikimu. Aku dan Ayahmu sama-sama tak saling cinta, kita hanya terjebak dalam hubungan pernikahan yang dipaksakan tapi tak berani saling memutuskan. Ayahmu mencari kebahagiaannya sendiri di luar sana dan tak pernah berusaha menumbuhkan atau membawa kebahagiaan ke rumah kita. Tapi tak apa, rumah ini terlalu kering bagi Ayahmu.

Sudah lah Nai,  ayahmu sudah pulang. Sambutlah. Ibu akan menenangkan diri  dulu agar tak kelihatan habis menangis di depan ayahmu.”

“ Dari mana ibu tahu ayah akan pulang? bahkan suaranya aja tidak terdengar Bu.”

“Aku merasakan hawa panasnya. Dia seperti kemarau Naila, membawa hawa panas dalam sekujur tubuhnya. Bukan musim panas yang kau impikan dan bukan pula musim semi yang indah dengan daun berguguran. Dia kemarau, dengan luka dan kekecewaan yang meluluh lantahkan siapa saja. Sambutlah ayahmu, ibu menenangkan diri dulu.”


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar