Kakiku bergetar hebat, peluh sebesar
biji jagung mulai membasahi dahiku, turun ke bawah dan membasahi kausku. Aku memicingkan mataku melihat segala sisi,
berharap tidak ada penjaga yang berhasil menangkapku. Jika ketauan, aku tak
tahu nasib sial apa yang kan menimpaku dan hukuman apa yang akan kuterima.
Aku baru saja mengendap-ngendap
masuk ke kawasan terlarang, orang-orang menyebutnya Tanah Gersang. Dari kabar yang kudengar, Tidak ada
yang berani melangkahkan kakinya ke tempat ini. Tempat dimana sisa-sisa radiasi
bekas bom atom pernah jatuh puluhan tahun lalu. jika
kamu memasuki daerah terlarang ini, maka kamu tak akan pernah kembali. Kalau pun kembali, sel-sel otrakmu sudah rusak dan menjadi gila. Mengamuk, maracau apa
saja.
Mataku menyisir segala arah, selain
menghindari dari patroli polisi, aku mencoba mencari kucing kesayanganku yang
hilang beberapa hari lalu. Seseorang pernah melihatnya masuk kawasan ini. Mama
sudah memperingatkan agar aku melupakan kucingku dan akan mencari penggantinya,
tapi aku sudah terlalu sayang padanya dan tidak mungkin menggantinya dengan
yang lain.
Aku menelusuri jalan yang diapit
oleh bangunan-bangunan yang hampir roboh. Cat mengelupas di seluruh sisi gedung, menandakan tidak ada
manusia yang tinggal dalam bengunan itu. Langkahku terhenti, saat menangkap
tulisan di sebuah kaca gedung, Kedai Kopi Kami. Persis di sebelahnya, sebuah
toko buku bernama Guidebooks Bookstore. Aku mempercepat langkah, hampir saja
aku lupa, jika waktuku tak banyak dan bukan hal baik membiarkan rasa penasaran
tumbuh subur dalam waktu yang tidak tepat ini.
Kenapa ada toko buku, apa yang
dia jual. Bukankah semua bacaan cukup diunduh saja. Kenapa orang-orang harus
repot ke toko buku jika kita bisa mendapatkannya dengan hanya duduk di depan
komputer, pikirku. Aku tak bisa
mengeyahkan sepenuhnya pertanyaan yang berkeliaran dalam otakku. Kupercepat langkah,
agar pertanyaan-pertanyaan itu dapat kutekan hingga hilang dalam pikiranku.
Namun, langkahku kembali terhenti
di ujung jalan. Sepanjang mata memandang, hanya padi-padi yang menghijau di atas tanah. Ya, di atas tanah. Ajaib bukan.
Aku tak pernah melihat ada padi yang tumbuh di atas hamparan tanah dengan air
yang selalu mengalirinya. Tersusun rapi seperti tangga namun dalam kotak-kotak
tanah berukuran besar. Di duniaku, padi
tumbuh dalam plastik-plastik kecil di dalam rumah kaca. Aku heran, bagaimana bisa tempat secantik ini
disebut Tanah Gersang, banyak tumbuhan dan air yang mengalir tiada henti.
Bahkan tidak bisa kutemukan hal seperti ini di dunia luar pagar sana.
Sudah lah, kembali saja. Terlalu berisiko
terlalu lama di tempat ini, batinku. Baru
saja aku memutar balik badanku, kulihat kucingku berlari kencang di ujung jalan
sana menuju bangunan tua. Aku bergegas
mengejarnya, melupakan rasa cemas serta melupakan bahaya yang akan aku hadapi jika berlama-lama
di tempat seperti ini. Aku terpaksa menelurusi jalan setapak, jalan tanah merah
yang basah, karena tidak ada jalan lain yang bisa kutempuh. Sepatuku belepotan karenanya.
“Kau melihat seekor kucing warna
putih dengan bulu lebat Pak Tua? dia lari ke arah sini,” tanyaku ketika sampai
di ujung jalan dan menemukan orang-orang sedang asik berkerumun di depan
bangunan yang kupikir tempat tinggal mereka.
Bangunan kuno yang tidak jauh berbeda dengan gedung-gedung yang kulihat
tadi, yang membedakan, bangunan ini terawat, cat-cat tidak mengelupas dan
atapnya utuh.
“Biarkanlah kucingmu pergi, duduk
saja dulu, akan kuambilkan minuman untukmu,” jawab orang tua itu tampa memedulikan
pertanyaanku.
Aku ingin menolak dan segera
mungkin menemukan kucingku namun rasa penasaran menahanku disini dan mengiyakan
permintaan lelaki tua itu. Tak lama, kakek tua itu datang membawa secangkir minuman,
belum sempat dia menaruh pantatnya pada kursi, rasa penasaran lagi-lagi membuatku
tidak mampu bersabar untuk bertanya.
“Apa yang sedang kalian lakukan
pada sore hari seperti ini? Kenapa tidak masuk ke rumah, melanjutkan pekerjaan
atau beristirahat?”
“Mengobrol, membicarakan apa saja
Nak, menertawakan hidup. Hidup harus tertawa agar kesedihan pergi nak.”
“Oh, tunggu sebentar,” katanya sambil
memperhatikanku dari ujung kepala hingga kaki. Suara lelaki tua itu serentak membuat
orang-orang di sekelingnya memperhatikanku. Aku menatap mereka satu-satu, ada
yang tersenyum, ada yang takut, ada yang biasa saja dan hampir seluruhnya
menahan diri untuk tidak pergi dari kursi yang mereka duduki. Suasana seketika menjadi
aneh.
“Tentu kau tak mengerti Nak, kau
dari dunia luar pagar sana kan?”
Aku hanya menganguk, mengiyakan
pertanyaan lelaki tua itu.
“Kau lihat lelaki yang berdiri di sana, sedang mengobrol dengan
seseorang, dia dulu dari duniamu tapi dia tak pernah kembali ke duniamu lagi.
Di sini, dia merasa hidup, hidup yang sebenarnya nak, hidup yang tidak
bahagia-bahagia saja, hidup yang penuh kegetiran, hidup yang akhirnya membuatmu
sadar bahwa bahagia selalu ada setelah kesedihan.
Aku hanya mengernyitkan dahi, tak
paham apa yang sedang lelaki ini bicarakan. “Baik lah, akan kuceritakan padamu,”
kata lelaki itu ketika melihat reaksiku yang kebingungan.
“50 tahun lalu, saat usiaku masih
11 tahun, dunia begitu kacau, ekonomi terpuruk setelah negara-negara saling
berperang untuk memperebutkan kekuasaaan. Kala itu, hampir seluruh warganya
bisa meratapi nasib, tidak ada yang bsia dikerjakan selain hanya meratapi
nasib. Tidak ada hak milik, siapa saja boleh mencuri, merampas atau membunuh
untuk menutupi kebutuhan perutnya.
Lalu seorang ilmuan menciptakan
sebuah terobosan, sebuah chip yang mampu
ditanam di otak manusia. Chip ini mampu menghapus
seluruh memori dalam otak manusia. Jika kau merasa tidak senang dengan apa yang
terjadi pada harimu, kau hanya perlu datang ke laboratorium center (LabCenter) untuk
memberikan chipmu, mengisi daftar memori mana saja yang ingin dihapus, maka
kamu akan melupakan kejadian pahit sebelumnya.
Ketika penemuan itu berhasil
diaplikasikan, semua berjalan dengan baik. Orang-orang yang terpuruk bisa
bangkit kembali dan menghilangkan semua kesedihannya. Semua ingatan akan perang
dihapus dan ditanamkan memori baru yang isinya mengajak seluruh masyarakat
bangkit dan bahu-membahu membangun negeri ini.
Namun terjadi penolakan dari beberapa
kalangan yang menginginkan agar setiap orang bisa berbahagia layaknya manusia
biasa. Kita bukan robot, Nak. Kenangan menjadi
pelajaran untuk kita bersikap. Kita perlu bersedih, bahagia yang terus-menerus
hanya akan menjadi sesuatu yang biasa saja, lalu menjadi datar dan kita tak
mengenalnya sebagai sebuah kebahagiaan.
Maka, sore itu, ketika langit berwarna merah saga, kubu-kubu
yang menolak dihancurkan. Sebuah ledakan besar mengguncang satu kawasan yang
kini kau pijak. Hanya segelintir yang selamat, mereka, orang-orang yang
sembunyi dari bawah tanah dan orang-orang yang berada di luar kawasan ini.
Hari itu juga seluruh
pengendalian chip yang tertanam dalam otak manusia diprogram ulang. Seluruh
manusia hanya diberi imagi tentang kebahagiaan dan dikontrol penuh oleh negara.
Manusia tidak bisa lagi memilih memori mana saja yang ingin disimpan dan mana
saja yang ingin dihapus. Semua memori tentang kesedihan akan dihapus oleh
komputer. Tidak ada yang bisa melawan kerena ketika pikiran itu muncul, mereka
akan diprogram ulang. Hanya daerah ini saja yang tidak bisa mereka masuki
karena mereka beranggapan kadar
radiasinya sangat tinggi, padahal sudah tidak ada sama sekali. Ilmuan kami yang
berhasil menemukan alat untuk menghilangkannya.
Pembataian dihapus dalam ingatan
setiap orang, setiap orang yang berani melawan, mereka dibungkam. Diculik dan
tidak pernah kembali. Para pemberontak ini dikumpulkan dalam camp dan
dibunuh tanpa ampun. Kalau mereka menyerah, mereka harus ditanamkan chip dan
meninggalkan semua keluarganya dengan indetitas yang baru. Kesadaran mereka
direnggut, kebebasan mereka dikontrol, ketika itu, kau berhenti menjadi manusia.
Kami sudah berhenti untuk melawan
Nak, ketika melawan kami hanya akan mengantarkan nyawa. Tidak ada yang bisa melawan kekuatan
pemerintah. Kami hanya ingin melanjutkan hidup sebagai manusia, hanya itu saja.
Kami bahagia disini dan tidak perlu melakukan apa-apa.
“Tidak mungkin, pasti kau sedang
membual. Tidak ada manusia yang tidak memakai chip kek.“
“Pernah kamu lihat orang-orang di
dekatmu sedih berhari-hari, frustasi lalu bahagia kembali? Jika kau tinggal
lebih lama di sini, kau akan menemukan hal seperti itu. Kita menjalani hidup
yang kita mau, tidak ada yang mengontrol otak kita. Kita menyimpan semua memori
hidup kita dalam kepala, membiarkannya tumbuh dan membiarkan otak menyeleksi
sendiri ingatan-ingatan kita tanpa bisa kita kendalikan. Merasakan sedih dan
berbahagia, membiarkannya berlalu melalui proses yang seharusnya bukan memanipulasi
melalui kerja komputer.
“Sebentar lagi gelap, jika kau
ingin menetap, akan kuantar ke temanku yang bisa mencabut chip dari otakmu agar
pemerintah tidak bisa melacaknya. Kalau kamu tak kembali hingga tengah malam
nanti, mereka akan segera melacakmu melalui chipmu dan itu membahayakan dirimu
dan juga orang-orang yang berada di kawasan ini. Jika kau ingin pergi, silakan
saja tetapi aku tetap harus menghapus pembicaraan kita hari ini.”
Aku hanya terdiam, tidak bisa
memutuskan apa-apa. Aku ingin menjadi manusia bebas, ingin merasakan sedih,
ingin bahagia, ingin menjadi manusia seutuhnya. Langit memancarkan cahaya
oranye, perlahan-lahan memerah, serupa warna darah di sudut barat. Aku harus
memilih, menetap dan meninggalkan keluargaku atau pergi dan melupakan hari ini.
Aku akan menunggu bola api itu tenggelam, lalu akan kuputuskan setelahnya.
0 comments:
Posting Komentar