Aku tidak lupa untuk mengemasi
barang-barangmu yang masih tertinggal di kamarku. Beberapa helai pakaian dan
buku-buku teori komunikasi yang kamu baca saat mengerjakan skripsimu di kamarku.
Aku hanya malas melakukannya. Kamu tahu betul diriku, aku malas dalam segala
hal. Jangankan merapikan barang-barangmu, mengirimkan atau mengantarkannya
langsung ke kosanmu, merapikan kamarku saja malas sekali rasanya.
Aku tidak ingat kapan terakhir
kali mengepel lantai kamarku, sudah sedikit lengket tetapi belum terasa sangat
mengganggu. Aku tidak menyukai binatang tetapi kubiarkan saja laba-laba membuat
sarang di rak bukuku dan belum berpikir untuk mengusirnya apalagi membersihkan
sarangnya. Biasanya, kamu yang melakukan hal itu. Mengepel lantai, membersihkan
jaring laba-laba pada rak bukuku dan mengganti seprai yang baunya sudah
bercampur dengan parfum dan keringat tubuhku. Tentu saja, kamu melakukan itu
dengan gerakan tangan yang cekatan dan mulut yang tidak berhenti mendumel.
Ada bagian yang tak bisa kupahami
dalam dirimu. Saat kesal, kamu begitu lancar mengeluarkan kata-kata, tapi jika
biasa saja, kamu irit berbicara. Kita tidak pernah dari tiga jam menghabiskan
waktu jika bertemu. Kuduga, dari tiga jam pertemuan itu, hanya tiga puluh menit
saja kamu merasa nyaman, selebihnya kamu merasa bosan dan segera ingin
meninggalkan. Maka, aku berupaya menahanmu untuk mengajak menonton film apa saja,
sekadar berupaya agar kamu tidak merasa bosan denganku. Tak apa tak bicara, tak
apa jika kamu lebih fokus pada filmnya, semua tak apa, selama kita bisa
menghabiskan waktu lebih lama dari sekadar tiga puluh menit. Bermalam di
kosanku tidak kuhitung, karena kamu akan sibuk mengerjakan skripsimu dan aku
mengerjakan pekerjaanku sambil sesekali membantumu menyelesaikannya.
Kamu memintaku untuk berbagi
cerita dengan teman-temanku. Katamu, kamu sibuk dan tidak bisa selalu
mendengarkan ocehanku. Kamu tahu betul, temanku tak lebih dari jumlah jari pada
kedua tanganku. Sangat sedikit memang dan aku tidak mau memberatkan mereka
dengan curhatan-curhatanku. Kupikir, satu-satunya alasan kenapa mereka bisa
bertahan berteman denganku – dan aku bisa bertahan berteman dengan mereka-
karena kami jarang sekali saling menghubungi. Jika kami sering bertemu, saling
berkomunikasi, mungkin kami tidak berteman lagi karena itu membosankan. Dan artinya,
aku tidak akan punya teman sama sekali.
Kamu pernah mengatakan kangen
padaku melalui sambungan telpon. Kubilang, sebaiknya jangan. Kita sudah
berpisah dan rasa rindu tak baik dipupuk lagi. Kalau ia hanya sekelebat angin
yang lewat begitu saja, tak jadi soal. Tapi bagaimana jika rindu itu tunas dan
kita terus membiarkannya tumbuh subur dan menjadi besar, kita akan kesusahan
untuk mematikannya lagi.
Obrolan kita pun berubah
tentangmu, tentang lelaki yang dekat denganmu-sedang
mendekatimu. Menurutku dia hebat, seseorang yang memiliki masa depan yang
cerah. Menempuh pendidikan tinggi, pandai dan akan menempati posisi strategis
jika kuliahnya di negeri luar sana berakhir. Aku turut bahagia, keputusanmu meninggalkanku
adalah pilihan yang tepat. Jika kamu masih bersamaku, kesempatan bersamanya
bisa hilang begitu saja dan kamu hanya akan hidup bersama lelaki pemalas yang
bahkan hingga saat ini tidak tahu tujuan hidupnya.
Kamu pun mengakhir pembicaraan
kita dengan sebuah pesan agar aku mengantarkan barangmu yang tertinggal ke
kosanku. Aku akan mengatarkannya, jika tidak malas, begitu kataku dan terdengar
tuts pada telpon genggamku.
Obrolan kita menjadi obrolan
pertama paska berakhirnya hubungan kita. Sebelumnya, kamu menggaransikan
padaku, akan selalu siap mendengarkan
ceritaku meski hubungan kita sudah berganti label menjadi mantan. Aku mengiyakan
perkataanmu, meski aku sendiri berpikir tidak akan menghubungimu. Apa yang
hendak aku ceritakan, apa yang hendak aku bagi, rasanya tak ada. Hidupku biasa
saja, masih mengerjakan pekerjaan lepas dan mencari pekerjaan lepas lainnya. Tidak
ada hal baru, kalau pun ada, sebaiknya kusimpan saja sendiri, tidak ingin
memebebani siapa pun.
Aku akan menyertakan tulisan ini
dalam kardus barang-barangmu yang akan kukirimkan nanti-jika rasa malasku sudah
hilang. Kamu memintku untuk belajar basa-basi terhadap orang lain, karena kamu
orang lain, jadi kubuatkan tulisan ini sebagai basa-basi untukmu.
*Gambar dipinjam dari sini.
0 comments:
Posting Komentar