“Aku minta secangkir kopi hitam, Bali-Kintamani yah, di-brew saja,” kata prempuan itu ketika aku berdiri di hadapannya.
Sebelumnya dia melambaikan tangan ke arahku,
kupikir meminta bill dan berniat membayar minumannya. Segelas kopi Toraja Kalosi yang dipesannya
sudah habis. Aku mengurungkan untuk memberikan bill namun tak ingin
memenuhi pesanannya. “Sudah mau tutup Mba, last order pukul sembilan
tadi,” kataku. Teman-temanku, satu orang barista dan dua orang waiters sedang
merapikan bagian kafe yang diperuntukkan bukan untuk perokok sedangkan area
untuk perokok belum kami rapikan, menunggu satu-satunya pelanggan-perempuan di
hadapanku-pergi.
Tamu adalah raja, begitulah aturan yang
berlaku dalam bisnis kuliner, tak terkecuali bisnis kopi. Aturan yang kadang
merenggut sedikit waktu kami. Kejadian seperti ini tentu bukan pertama kali
terjadi sejak setahun lalu aku membangun kedai kopi. Aku memberikan sedikit
waktu untuk mereka meninggalkan kedai kami tanpa harus memaksanya keluar. Sebuah
paksaan akan meninggalkan kesan buruk dan membuat pelanggan enggan datang
kembali ke kedai kami.
Aturan ketat yang tak pernah kulanggar dan
selalu aku tekankan adalah last order. Kami tak pernah mau menerima
pesanan di atas pukul sembilan. Berapa banyak pun customer yang datang,
berapapun pesanannya, dengan berat hati kami mengatakan sudah tidak menerima
pesanan lagi. Tentu dengan kata maaf sebelumnya agar mereka tidak merasa
ditolak.
Jam menunjukkan pukul 10 malam, sudah
waktunya menutup kafe. Hanya pada akhir pekan kafe kami buka lebih lama, hingga
pukul 12 malam. Selebihnya, kami hanya buka sampai pukul 10. Sejak kedai ini
berdiri, aku selalu meminta rekan kerjaku untuk membersihkan kafe pada malam
hari, mulai dari menyuci piring,gelas hingga menyapu seluruh bagian kedai ini. Bagiku, akan menguras
tenaga jika baru dilakukan esok hari. Esok, hari baru, tantangan baru dan aku
tak ingin mengambil beberapa puluh menit hanya untuk merapikan kedai ini.
“Bisakah
kau buatkan kopi dalam paper cup?
Aku butuh secangkir lagi,” katanya sambil menyerahkan selembar uang 100 ribuan.
“Maaf sebelumnya, kami tidak pernah
menyuguhkan kopi dalam gelas kertas, kopi yang kami sajikan hanya untuk diminum
di tempat,” kataku menjelaskan.
“Apakah tak ada wadah lain, apa saja, aku
butuh sekali. Kepalaku hampir pecah rasanya dan yang kubutuhkan hanya secangkir
kopi. Tak bisakah kau menolongku?”
“Baik, Bisakah kau menunggu di depan kafe? kami sedang bersih-bersih,
karyawanku sudah letih dan ingin segera pulang. Akan kubuatkan, jika mba mau
menunggunya di depan.”
Perempuan itu pergi meninggalkan tempat
duduknya dan berjalan keluar. Duduk di kursi yang memang tersedia di bagian depan
kafe. Aku tak perlu meminta karyawanku untuk merapikan smoking area,
dengan sigap mereka sudah mulai merapikannya. Aku membuat secangkir kopi yang
sudah kujanjikan. Kopi Bali-Kintamani.
“Ini kopimu dan ini uang kembaliannya,”
kataku seraya menyerahkan segelas kopi dalam mug dan dua lebar uang
kertas pecahan lima puluh ribu dan selupuh ribu rupiah.
“Masih ada kembalian untuk dua cangkir kopi
ini?” tanyanya sungguh-sungguh. “Apa kau salah menghitungnya, coba kau hitung
kembali agar tidak rugi.”
“Secangkir kopi Toraja-Kalosi, kopi yang ini
gratis.” Aku pun berbegas pergi meninggalkannya dan bersiap membantu merapikan
kedai. Pada langkah kesekian, dia memanggilku kembali. Apa maunya perempuan
ini, merepotkan sekali, kataku dalam hati.
“Aku tidak bisa menerimanya secara gratis,
aku harus membayarnya. Tidak baik jika kau memberikan kopi gratis pada orang
lain.”
“Aku hanya tidak ingin melanggar aturan yang
sudah kubuat sejak setahun lalu. Sejak awal kedai ini berdiri, aku tak pernah
mau menerima pesanan setelah pukul sembilan. Kalau pun aku harus membuatnya,
itu bukan untuk dijual. Anggap saja ini
bagian dari service kami.”
Aku bergegas masuk kedai dan membantu
rekan-rekanku. Setelah semua beres, kami duduk santai sambil membicarakan
kebutuhan untuk esok hari. varian kopi apa saja yang stoknya sudah menipis,
roti, atau apa saja. Aku tak ingin pelanggan kecewa jika datang ke kedaiku dan
tak mendapati apa yang diharapkannya. Aku mencatatnya dan akan berbelanja esok
hari. Urusan belanja bahan memang menjadi tugasku. Aku menyukainya, karena itu aku
tak pernah meminta karyawanku untuk menggantikannya.
Lampu-lampu pun dimatikan, hanya menyisakan
lampu bagian depan kafe yang sengaja tak dimatikan. Satu-persatu karyawanku
pergi. Aku menyulut rokok, menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya
perlahan. Perempuan itu masih duduk di kursi, sebenarnya aku enggan untuk menegurnya.
Kupikir, urusanku dengannya sudah selesai. Kedai pun sudah ditutup, tak perlu
ada basa-basi diantara kami. Namun aku sadar,hubungan pembeli dan penjual
tidaklah sesederhana itu. Kami terbiasa mengobrol dengan customer bahkan
terkadang menjadi teman akrab.
“Belum pulang Mba? Tanyaku basa-basi.”
“Kopinya belum habis. Aku tak mungkin membawa
gelasnya. Sudah dapat minuman gratis, masa harus dibawa juga gelasnya. Kenapa tidak
menyediakan kopi dalam paper cup? bukannya lebih praktis. Tidak semua
orang ingin berlama-lama di kedai kopi. Mereka memiliki kesibukan, hanya ingin
segelas kopi lalu pergi.”
“Barangkali, tempat ini memang tidak cocok
bagi orang yang sedang terburu-buru. Tempat ini memang diperuntukkan bagi
mereka yang ingin singgah sejenak, menikmati kopi tanpa harus dituntut waktu. Lagi
pula, jaman sudah berubah. Kamu bisa bekerja di mana saja, mengerjakan tugas
tanpa harus datang ke kantor. Kamu bisa mengerjakannya sambil duduk menikmati
secangkir kopi dan setangkup roti.”
“Dunia tak pernah baik-baik saja. Kita harus
berkejaran dengan waktu jika tak ingin dikejar-kejar olehnya. Tugas yang
menumpuk dan segala permasalahan pribadi yang harus segera diselesaikan. Kita tak
bisa sering-sering duduk hanya untuk sekadar menikmati kopi. Apa kau sadar hal
itu.”
“Sejauh apa pun tempat yang kamu tuju,
sebanyak apa pun langkah yang kamu buat, seberat apa pun masalah yang kamu
hadapi, kamu tak bisa selalu berlari. Ada kalanya kamu perlu rehat, membungkukkan
badan, menarik napas dalam, menghembuskannya. Mengumpulkan tenaga sebelum
melanjutkan kembali apa yang kamu kejar. Tempat rehat tersedia dalam berbagai
bentuk. Bisa berupa secngkir teh di beranda rumah pada pagi hari, segelas es
jeruk di kantin kantor atau sepotong es krim di toko tempatmu membeli kebutuhan
bulanan. Tempat yang kami sediakan berbentuk kedai kopi. “
“Ini gelasmu, terima kasih untuk kopi dan
obrolan singkatnya,” ucapnya seraya menyodorkan gelas milikku.
“Untukmu saja. Untuk perempuan yang
terburu-buru, barangkali tempat rehatmu adalah kopi itu sendiri. Kamu hanya
perlu wadah, bukan kafe.
0 comments:
Posting Komentar