Saya cukup kaget melihat perubahannya. Entah apa dan mengapa dia
berubah menjadi sosok yang lebih serius dari sebelumnya. Apakah hidup yang
keras sehingga membuatnya juga menjadi sedikit lebih keras. Kami sudah jarang
bertemu, bukan karena masing-masing dari kami sibuk tetapi dia sungguh sibuk
dan saya masih tetap bekerja dalam kondisi yang sangat santai. Tidak mau
terikat dengn sebuah perusahaan, kalau pun iya, kesepakatan awal, saya hanya
ingin bekerja 10 hari dalam satu bulan.
Kami terbiasa bekerja dengan santai, dalam artian tidak terikat
oleh tempat dan waktu. Ada fase di mana kami tidak tidur selama satu minggu.
duduk di depan layar komputer, menenggak kopi bergelas-gelas dan mengahabiskan
beberapa bungkus rokok untuk menyelesaikan proyek penulisan. Ada waktu di mana
kami menolak tawaran pekerjaan. berapa pun besar tawaran itu, kami tetap
menolak. Kami mencoba mencukupkan diri, tidak ingin hidup melulu tentang kerja
dan itu membuat kami lebih menikmati hidup. suatu hari dia menghilang,
menghindari kontak dari teman-teman, termasuk komunikasi dengan saya.
“Gue kayak ketemu astronot, yang ngerakit pesawatnya sendiri untuk
bisa sampe ke bulan. Seorang astronot dadakan tapi nekatnya nggak ketulungan.
Gue masih berpijak di bumi dan lo udah hampir sampe di bulan. Lo baik-baik
aja?” kata saya sambil menyikut sikunya.
“Nggak pernah sebaik ini,” katanya sambil tertawa.
Saya tertawa, entah untuk alasan apa. Kami seringkali menertawakan
apa saja, bahkan yang tidak lucu sekalipun.
“Kenapa tiba-tiba tenggelam sama kerjaan. Ada yang salah sama
hidup lo?
“Keluarga dan teman-teman kayak lo yang buat gue pengen berubah,”
jawabanya. Dia menarik napas, mengambil jeda, alisnya bertemu, seperti sedang
memikirkan bagaimana meneruskan jawabannya.
“Lo inget malam itu, saat kita ngopi di rumah lo, Jay telepon dan
bilang kalau bapaknya baru saja meninggal. Dia butuh uang untuk mengartarkan
jenazah bapaknya ke Jogja. Belum lagi tiket PP untuk keluarga. Apa yang kita
lakukan? Nggak ada kan, selain ucapan belasungkawa. Lo inget Maya? dia harus
jual rumahnya buat membiayai orangtuanya yang sakit keras. Apa yang kita
lakukan? Nggak ada kan.” Dia menyeruput kopi. mengembil sebatang rokok,
membakarnya lalu menghisapnya. Dihembuskannya perlahan dan bersiap melanjutkan
pembicaraan.
“Saat nyokap lo sakit, lo habis-habisan jualin barang untuk bayar
rumah sakit. Gue nggak bisa bantu apa-apa selain nemenin lo jaga di rumah
sakit. Bahkan, saat ibu gue sakit, gue nggak bisa lakuin apa-apa selain cari
pinjaman dari keluarga dan teman. Sejak saat itu, gue percaya, penderitaan yang
gue alami, temen-temen gue alami nggak cukup dengan dukungan moril tapi juga
materil. Lo nggak cukup hanya bilang sabar, lo harus membantu, memberi,”
katanya sambil menyenderkan punggung ke kursi.
Barangkali, orang-orang seperti kita tidak memiliki mimpi. Tidak
memiliki hal besar untuk diwujudkan. Kita hidup dalam kesederhanaan,
sesederhana menikmati kopi dan sebatang rokok setiap hari. Kita lantas tak
terlalu peduli banyak hal, tidak memikirkan bagaimana masa depan karena kita
tak pernah ingin membangun apa pun. Hingga suatu hari, kita menyadari, ada
mimpi-mimpi orang lain yang tak bisa tercapai. Mungkin, tugas kita bukan
menggapai mimpi kita tapi mewujudkan mimpi orang lain.
Bagi saya, mimpi sudah usai, dia sudah mati malam itu. Entah siapa
yang membunuhnya, mungkin hidup, mungkin saya sendiri yang tanpa sadar sudah
menikamnya. Saat ini, impian orang-orang terdekat saya adalah impian yang ingin
saya wujudkan.
0 comments:
Posting Komentar