Papandayan dan Warna-warna Kita (1)



Kita –manusia- membuat cerita dan mewariskannya. Apa yang kamu lakukan hari ini, tak benar-benar untuk dirimu saja, kamu bisa mengisahkannya kepada anak dan cucumu kelak. Maka buatlah hidupmu menarik, tulislah cerita di setiap langkah kakimu, agar warisanmu dapat bermakna bagi keluargamu, bagi orang lain di sekelilingmu.
Nai sering mengkritikku mengenai hal ini. Mengenai hidupku yang selalu berkutat dengan pekerjaan dan kopi-rutinitas yang itu-itu saja. Pada kali ketiga kami pergi bersama, dia langsung tahu, aku pria yang monoton. Tak perlu hal besar untuk mengetahui hal itu. Cukup memperhatikan bagaimana aku memilih tempat memarkir motor dan memesan menu. Aku selalu memarkir motor di tempat biasa, memesan menu yang biasa kupesan tanpa pernah mencoba menu lain dan membicarakan kehidupanku yang biasa-biasa saja. Beruntungnya, Nai tak keberatan dengan semua yang biasa-biasa dari diriku.
Kaku dan membosankan, katanya. Tentram dan damai, koreksiku.
unpredictable dan tukang cari masalah, kataku.  Pemimpi dan pengejar kebahagiaan, koreksinya. 



“Garut... bus terakhir, bus terakhir,” teriak kondektur.
Kami (bertujuh) masih menunggu tiga teman kami yang belum datang, terhambat macet. Jumat malam, jalanan Jakarta selalu padat. Para pekerja menikmati momen akhir pekan dengan berkumpul bersama teman-teman dan pulang pada dini hari. Hujan menguyur sejak pukul delapan malam, menambah kemacetan karena banyak ruas jalan tergenang air dan pengendara motor yang berteduh di bahu jalan.
“Itu mereka,” kata Indra sambil menunjuk Hanum, Juned dan Tania. “Langsung naikin barang ke bus,” tambahnya.
Aku memilih duduk di dekat jendela. Di sebelahku, Irsyad, langsung menundukkan kepala, menyandarkan kepalanya pada kursi di depannya. Mengambil posisi tidur. Aku masih menatap hiruk-pikuk terminal melalui kaca jendela yang basah, mengelap sedikit dengan punggung tangan agar pemandangan lebih jelas terlihat.
Bus melaju perlahan, meninggalkan terminal. Aku meminum antimo, berharap efek sampingnya dapat membuatku tertidur. Tidur telah menjadi masalah bertahun-tahun dalam hidupku. Pola hidupku yang berantakan membuatku sulit mengejamkan mata pada malam hari. Aku bahkan jarang sekali bermimpi, dalam tidur hanya putih yang kulihat.
Irsyad tidur pulas. Aku berdiri, menggerakkan badanku yang pegal karena terlalu lama duduk lalu menatap sekeliling, teman-temanku sudah jauh pergi ke alam mimpi. Tak kudengar percakapan dari penumpang lain, hampir semuanya telah tertidur kecuali satu-dua orang yang masih terjaga, itu pun karena mereka harus berdiri selama perjalanan menuju Garut.
Aku merebahkan kembali tubuhku pada kursi bus. Menatap jalan melalui kaca jendela. Di gelapnya malam, aku teringat dirimu.
“Lebih suka naik pesawat, bus atau kereta?” tanya Nai ketika kami mengobrol mengenai perjalanan.
“Tergantung.”
“Tergantung kocek yah?  hahaha.” Tawa yang renyah, tawa yang mampu meluluhkan hati siapa saja.
“Salah satunya. Kalau tujuaannya untuk kerja, aku lebih senang naik pesawat. Lebih efisien dan tidak menguras tenaga, mengingat di sana harus bekerja sehingga butuh tenaga.”
“Kalau main?”
“Kereta. Lebih nyaman dan tidak macet. Bus selalu jadi alternatif terakhir, pantatku pegal jika terlalu lama duduk.”
“Bukannya kamu malas naik kereta. Nggak bisa merokok?” sindirnya.
“Hahaha, iya. Sekarang kereta tidak bersahabat dengan perokok. Membayangkan sebuah perjalanan belasan jam tanpa merokok membuatku takut. Kamu lebih suka mana?”
“Kereta. Bisa melihat pemandangan bagus dari jendela. Jika pegal, bisa jalan di peron. Bisa membaca buku atau mengobrol. Yuk, temani aku jalan. Ngobrol sama kamu pasti seru dan perjalanan tidak terasa lama.”
“Udah sampai mana, Bim?” pertanyaan Irsyad membuyarkan lamunanku.
“Baru keluar tol Cileunyi, tadi macet parah.”
Irsyad pun kembali menundukkan kepalanya di punggung kursi yang berada di depannya, melanjutkan tidurnya. Aku menutup kepala dengan tudung jaket. Berusaha memejamkan mata. Aku perlu tidur, aku butuh tenaga untuk pendakian pagi nanti.


# # # # #

 
*Terminal Guntur


“Guntur...Guntur. Abis...abis,” teriak kondektur dan sontak membangunkanku.
Penghuni bus berdiri, antre turun dari bus. Wajah-wajah kantuk, wajah-wajah dengan garis-garis lipatan bekas penutup kepala.
Kami pun turun, berdiri di dekat bagasi untuk mengambil barang-barang. Bagasi dipenuhi carrier-carrier para pendaki. Kami pun mengumpulkan tas di satu tempat. Foto dulu keleus, celetuk seseorang. Wajah-wajah kantuk pun berubah ceria. Siap memasang fose terbaik. Mengabadikan perjalanan. 
Memori kepala kita terus dipenuhi ingatan-ingatan baru yang membuatnya terus memudar. Karenanya, foto mengambil peran besar dalam mengabadikan momen, sebuah bukti perjalanan. Entah kepada siapa foto itu akan ditunjukkan. 



  *wajah-wajah sok ceria  

Ketukan sendok pada mangkuk tukang bubur membuatku merasa terpanggil. Tepatnya, perutku yang merasa terpanggil, merengek minta diisi. Aku, Dea dan Arie menyantap bubur, yang lain memesan makanan di sebuah warung nasi tepat di sebelah kami menyimpan barang.
Setelah urusan perut dan bersih-bersih selesai, kami mencari angkot menuju pertigaan Cisurupan. Nantinya, perjalanan akan dilanjutkan menggunakan mobil colt (bak terbuka). Sudah ada tiga orang yang duduk di dalam angkot berwarna putih-kuning itu. Tas-tas besar diletakkan di atas mobil. Aku mendapat tempat duduk di depan bersama Arie dan pak supir, pastinya.
“Berapa lama sampai Cisurupan, Pak?” tanyaku pada supir.
“Sekitar 17 Km,” jawabnya sambil mengambil rokok yang ada di dashboard lalu menyulutnya.
“Banyak yang camping, Pak?”
“Sejak subuh tadi, ada 30 mobil yang berangkat. Sekitar 300an orang.”
Sepertinya pendakian ini tak ubahnya persami (perkemahan sabtu-minggu) dalam kegiatan pramuka. Puluhan tenda, ratusan orang dan ingar-bingar. Gunung dan kesunyian, niscaya adanya. Tak ada hening, tak ada tempat melamun dan secangkir kopi hitam hanyalah pelengkap, tak lagi menjadi sahabat.
30 menit menggunakan angkot, kami berhenti di SPBU dekat pertigaan Cisurupan. Kang Dadan, supir colt yang kami hubungi berjanji menunggu di sini. Setelah menunggu setengah jam, Kang Dadan tak kunjung datang. Dari supir lain, kami mengetahui, Dadan baru saja berangkat ke atas, mengantar rombongan lain. Banyak mobil colt di sana, tak sulit untuk mencari pengganti. Negosiasi pun terjadi, mobil colt hitam siap mengantar kami menuju camp david.
Tas-tas dikumpulkan di dekat kepala mobil. Tubuh-tubuh kami menjaganya agar tidak terjatuh. Mobil menderung saat menanjak, kami berpegangan pada tubuh mobil, takut terjungkal. Canda dan tawa tak pernah lepas, mengurai lelah dan mengubahnya menjadi tenaga. Aku percaya, selelah apa pun, selama memiliki teman-teman berbagi tawa, lelah akan berkurang. 



 *di atas mobil colt, menuju camp david  




Butuh waktu 45 menit untuk sampai di camp david. Indra –kepala suku perjalanan-melakukan registrasi di pos. Setelah menyelesaikan registrasi, kami pun turun. Barang-barang diturunkan. Kaki-kaki direnggangkan. Makanan pun dikeluarkan padahal pendakian belumlah dimulai. 

*camp david

Sebelum memulai pendakian, kami membuat lingkaran kecil. Berdoa bersama, berharap semua dilancarkan dan kami semua diberi keselamatan. Tak lupa, kami membentangkan poster Klub Horor Bukune dan berfoto bersama. 



# # # # #





Sejauh apa pun kamu melangkah, setinggi apa pun gunung yang akan kamu daki, seluas apa pun samudra yang akan kamu sebrangi, kamu  hanya perlu satu hal. MELANGKAH. Semua hanya wacana tanpa sebuah langkah. Langkahkan kakimu!
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

4 komentar:

  1. Jadi, siapakah Nai? Sepertinya hidupmu berat. Kamu terlalu banyak minum kopi sehingga membuatmu berhalusinasi terhadap Nai :D

    BalasHapus
  2. Nai, tukang bubur di terminal Guntur... bhahaha

    BalasHapus
  3. Ugggh... kakak romantis binggo deeech..

    BalasHapus
  4. biar pada garuk-garuk aspal..ha

    BalasHapus