Dia diberikan semacam penglihatan. Kemampuan melihat
hal-hal yang tak kasat mata. Kelebihan yang seringkali membuatnya dianggap aneh
oleh banyak orang. Kemampuan yang dia kutuki, dia ratapi, dia enyahkan namun
tak juga menghilang. Kemampuan yang membuatnya dijauhi teman sebayanya. Kesendirian
yang memuakkan.
Sejak kecil, dia berteman sepi. Sepi yang tak
benar-benar sunyi karena di sekelilingnya, selalu ada yang menemani.
Riuh tak berwujud, tawa yang hampa,
obrolan-obrolan yang sunyi.
Duduk bersama teman-teman, mengobrol ngalor-ngidul,
tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata, tentu hal yang menyenangkan.
Apa jadinya jika kamu tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata, namun
orang-orang melihatmu sendiri, barangkali, mereka menganggapmu gila. Itu yang
dia rasakan.
“Terkadang, aku ingin membuangnya, menutup rapat-rapat
agar tak mengganggu hidupku lagi,” katanya tanpa menoleh, menatap langit sore
yang berwarna serupa buah jeruk yang matang.