Dia diberikan semacam penglihatan. Kemampuan melihat
hal-hal yang tak kasat mata. Kelebihan yang seringkali membuatnya dianggap aneh
oleh banyak orang. Kemampuan yang dia kutuki, dia ratapi, dia enyahkan namun
tak juga menghilang. Kemampuan yang membuatnya dijauhi teman sebayanya. Kesendirian
yang memuakkan.
Sejak kecil, dia berteman sepi. Sepi yang tak
benar-benar sunyi karena di sekelilingnya, selalu ada yang menemani.
Riuh tak berwujud, tawa yang hampa,
obrolan-obrolan yang sunyi.
Duduk bersama teman-teman, mengobrol ngalor-ngidul,
tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata, tentu hal yang menyenangkan.
Apa jadinya jika kamu tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata, namun
orang-orang melihatmu sendiri, barangkali, mereka menganggapmu gila. Itu yang
dia rasakan.
“Terkadang, aku ingin membuangnya, menutup rapat-rapat
agar tak mengganggu hidupku lagi,” katanya tanpa menoleh, menatap langit sore
yang berwarna serupa buah jeruk yang matang.
“Kenapa tidak ditutup?” tanyaku asal.
“hahaha... Ini kehidupan nyata, bukan film. Menutup
kemampuan yang tuhan berikan tidak semudah yang kamu lihat di televisi.
“Terus?”
“Ya, nggak terus. Mungkin cuma tuhan yang tau
kenapa aku diberi kelebihan.”
“Aneh. Ganjil.”
“Aku sudah terbiasa mendapat predikat aneh dan
ganjil. Bukan hal baru.”
“Bukan. Maksudku, aneh saja, tuhan memberikan
sesuatu kepada umatnya tapi umatnya tidak tahu. Pasti ada alasannya, hanya kamu
belum tahu saja.”
“Apa pun tujuannya, aku terlalu lelah
mencari. Sejak kecil, aku sudah bertanya-tanya mengenai hal ini namun tak juga
mendapat jawaban. Saat ini, aku hanya belajar menerima. Itu saja,” ujarnya
sambil mengambil botol minuman dari tasnya lalu meneguknya. Mau kuceritakan
rahasiaku?” tanyanya.
“Ceritakanlah!”
“Aku selalu menceritakan kepada orang-orang,
bahwa aku mendapat kelebihan setelah melewati koma saat masih kecil. Cerita
itu, tidak sepenuhnya salah tapi tidak sepenuhnya benar. Kekuatan ini berasal
dari kakekku. Saat kakekku meninggal, kelebihan ini akan diwariskan kepada
keturunannya.
Aku mengira kakek akan mewariskannya kepada
ayahku, ternyata tidak. Ayah, tidak memiliki kemampuan melihat makhluk astral. Cerita
mengenai kemampuan melihat alam gaib pun sirna dalam keluargaku. Sejak kakek
meninggal dan tak mewariskannya kepada garis keturunannya, cerita ini pun udar.
Tak ada yang membahasnya lagi.
Saat umurku 10 tahun, aku mengalami demam
yang tinggi hingga membuatku menggigil dan tak lama kemudian aku tak sadarkan
diri. Orang tuaku langsung melarikanku ke rumah sakit. Namun, tubuhku sudah
terlalu lemah, hingga akhirnya aku koma selama 10 hari.
“Kau tahu apa yang kulihat saat koma?”
Aku menggeleng. Tak tahu harus menjawab apa.
Dia pun meneguk air putih dalam botol dan melanjutkan ceritanya.
“Kakekku. Aku melihat kakekku menghampiriku
dan memeluk tubuhku. Jika kamu sanggup bertahan melewati koma ini, hidupmu tak
akan sama lagi,” katanya sambil melepaskan pelukan lalu lenyap ditelan asap
tebal. Tak lama setelah itu, aku terbangun.”
“Apa yang kamu lihat setelah terbangun?”
tanyaku penasaran.
“Semua. Hmmm... semua keluargaku yang telah
meninggal mengelilingi tempat tidurku. Aku menangis sejadi-jadinya. Ayah memelukku
dan mengira, aku menangis bahagia karena berhasil selamat dari koma. Ayah tak
tahu dan tak pernah tahu, aku dapat melihat keganjilan-keganjilan.”
“Apa selalu ada yang mengikutimu?”
“Ya. Orang-orang seperti kami, seperti Wi-Fi.
Makhluk astral senang sekali mendekati kami. Melihat orang yang dapat
melihatnya, mereka ingin mengajaknya berbicara atau sekadar mengikutinya. Aku sudah
terbiasa dengan semua itu.”
“Artinya, saat ini, banyak yang menemanimu?”
“Tidak selalu banyak, terkadang hanya satu. Seperti
sekarang, dia duduk di sampingmu. Mendengarkan pembicaraan kita sejak tadi. Sepertinya
dia menyukaimu.”
Aku mengambil jaketku yang kuletakkan di sandaran kursi lalu mengenakannya. Tiba-tiba saja tubuhku
menggigil, padahal sinar matahari sore sedang hangat-hangatnya. Aku pun pamit,
takut kalau mahluk di sampingku benar-benar menyukaiku dan mengikutiku pulang.
0 comments:
Posting Komentar