Papandayan dan Warna-warna Kita (2)



“Santai aja. Kalo nggak kuat, bilang. Nggak perlu lambai-lambai tangan, nggak ada kamera. Ini pendakian, bukan uji nyali,” kata Indra-kepala suku- mengingatkan teman-teman.
Di antara kami bersepuluh, hanya Indra dan Irsyad yang sering mendaki, mereka masuk dalam katagori pertama. Katagori kedua, pernah satu-dua-tiga kali mendaki gunung dan katagori ketiga, pendatang baru dalam kancah dunia pendakian. (katagori suka-suka)
Aku masuk dalam katagori yang kedua, tak benar-benar baru tetapi tak benar-benar mampu. Lari pagi, untuk menambah kekuatan fisik saat mendaki hanya wacana semata. Ya, aku tidur pagi hari dan tak mungkin memaksakan diri lari pagi. Tepatnya, malas lari pagi. Sebenarnya, aku bisa mensiasatinya dengan lari pada sore hari. Tapi, sore hari dan secangkir kopi adalah perpaduan yang istimewa. Kau tentu tak mau melewatkannya hanya untuk lari dan menguras tenaga.

Tiga puluh menit berlalu. Wajah-wajah ceria, kini berubah merah padam terbakar matahari. Sebagian dari kami duduk terpaku, mengatur napas yang mulai megap-megap. Arie, menjadi penjaja air dadakan. Taktik jitu untuk mengurangi beban air yang di dalam ransel. Masing-masing dari kami membawa dua botol air kemasan berukuran 600 ml dan 1,5 liter. Irsyad dan Juned, mencari batu panca warna khas Garut. Seperti kata pepatah, sekali mendaki, dua tiga batu dikantongi.. hehe



“Kita akan ambil jalur yang berbeda, ke arah kawah baru. Nggak banyak yang tahu jalur ini. Di sana kita akan istirahat,” kata Indra ketika semua tim telah berkumpul.
Indra mulai menjelaskan terciptanya kawah baru di Gunung Papandayan. Indra layaknya penceramah yang sedang memberikan petuah. Kami, seperti anak-anak bandel yang tidak memedulikannnya. Sibuk dengan urusan masing-masing. 
Aku meminta rincian trek kepadanya dan memutuskan berjalan lebih dulu. Sebuah sungai kecil mengalirkan air yang bening, seperti menarikku untuk segera membasuh wajah. Kuletakkan carrier, membungkukkan badan dan menangkup air dengan kedua tangan. Air mengeluarkan aroma belerang yang menyengat, sontak saja kugagalkan membasuh muka dengan air ini.
Tak jauh dari aliran sungai, sebuah kawah kecil terlihat begitu hijau. Di sampingnya, kepulan asap dari belerang terus meninggi. Tak sulit menjangkau tempat itu. Sesampainya di sana, aku merebahkan diri. 



Tak perlu terburu-buru. Rebahkan kepalamu dan pejamkan matamu. Puncak menarik untuk didaki, perjalanan harus dituntaskan, tapi keindahan, harus tetap dirayakan.
Teman-teman masih jauh di belakang. Kini, aku berteman sunyi dan sunyi menarikku ke perbincangan-perbincangan masa lalu.  Magnetnya teralu kuat, aku tak bisa melepaskan diri.
“Kenapa ya, Bim, orang-orang senang menyusahkan diri. Seperti memilih liburan di gunung, untuk mencapainya saja harus menguras tenaga. Padahal, pantai lebih mudah dijangkau,” kata Nai saat kami menghabiskan waktu menonton DVD di rumahnya.
“Seperti tak semua orang menyukai susu dan memilih kopi, padahal rasanya pahit.”
“Dua hal yang berbeda, Bim. Kita tidak sedang membicarakan makanan,” keluhnya sambil menyikutku pelan.
“Objeknya memang berbeda, Nai,  tapi sudut pandangnya sama. Tak semua orang dapat menikmati susu sepertimu. Di luar sana, banyak orang yang lebih menyukai kopi ketimbang susu. Seperti tak semua orang menyukai laut dan memilih berlibur ke gunung.”
“Aku memilih laut dan berharap bisa membuat rumah di dekat pantai. Melihat ombak bergulung-gulung dan mendengarkan merdunya suara ombak menghantam karang. Kamu, ingin di gunung atau pantai?”
“Di mana saja.”
“Tak punya pendirian. Payah.”
“Bagiku, tak jadi soal gunung atau pantai. Aku tak ingin bangun pagi melihat pantai dan deburan ombak. Aku ingin melihatmu pertama kali ketika terjaga. Semua sama saja selama ada dirimu di sampingku.”
Mungkin kamu tak tahu dan tak pernah tahu, Nai. Tak jadi soal di mana kita menikmati hari-hari ke depan. Cukup kamu yang menjadi penawar segala hal. 
“Bim, bantuin masak dong. Laper nih,” kata Arie sambil mengeluarkan mie instan dan air mineral. Membuatku terjaga dalam lamunan. 

tugas negara, makan-makan lucu

# # # # #


Setelah menyelesaikan tugas negara (makan dan foto-foto), kami melanjutkan perjalanan menuju Gober Hud. Untuk mencapainya, harus melewati jalan setapak yang berliku. Hujan membuat jalan setapak sedikit berlumpur. Perlu hati-hati menapakinya agar tidak terpeleset. Pintu Angin serupa gerbang besar,  sebuah pintu untuk memasuki Guber Hud.
Aku membayangkan diriku sebagai penguasa udara dalam serial Avatar Aang. Untuk bisa menguasai elemen udara, masing-masing dari kami harus melewati Pintu Angin. Setelahnya, semua akan mudah karena kami memliki Bison Terbang. Sayangnya, semua hanya terjadi dalam kepalaku. Kenyataannya, jalan setepak yang berliku dan menanjak membuatku megap-megap.



*jalan setapak menuju Gober Hud


sunrise spot dekat Gober Hud

Irsyad, Dea dan Arie berlajan lebih dulu  menuju Pondok Salada. Mereka mempunyai misi mendirikan tenda. Aku bersama keenam teman lainnya bersitirahat sejenak di Guber Hod. Indra bahkan tertidur lelap.
Setelah merenggangkan otot, aku melanjutkan perjalanan menuju Pondok Salada seorang diri, meninggalkan keenam temanku yang masih beristirahat. Angin sore membelai lembut tubuhku, memberikan sensasi dingin yang mulai merasuki sekujur tubuhku. Aku mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dan menghisapnya dalam-dalam.

“Apa jadinya ketika nanti kita beripisah dan hidup sendiri-sendiri?”
Akh, suara itu lagi. Kenapa selalu hadir saat aku sendiri, kenapa selalu hadir saat aku merasa sendiri. Kesendirian tak melulu sunyi, kesendirian adalah cara bagaimana kita menyikapi diri. Aku bisa merasa sendiri dalam keramaian. Kesendirian kolektif, bersama-sama namun tak merasa genap.
“Aku tak bisa membayangkan dan tak membayangkan perpisahan. Tak ada yang indah dari perpisahan,” kataku waktu itu.
“Ini hidup, kita tak bisa menolak kemungkinan-kemungkinan di dalamnya. Seperti katamu, risiko tidak datang dengan sendirinya. Dia mengikuti kemana langkah kaki berpijak dan mengagetkanmu seketika.”
“Aku akan tetapi menyayangimu. Aku hanya ingin melanjutkan hidup tanpa rasa benci,” kataku.
“Akan lebih mudah untuk kita melanjutkan hidup jika saling membenci.”
“Kalau masing-masing dari kita tahu hasil akhir hubungan ini, mungkin kita tidak akan berani memulai. Kamu hanya perlu ingat satu hal. Seburuk apa pun hubungan kita berakhir, kita pernah saling mengisi dan membahagiakan. Hal itu cukup membuat kita saling memafkan dan berdamai.”
Aku berjalan menuju pintu rumahnya, menutupnya dan meninggalkannya. Aku malas membicarakan perpisahan.
“Bim.. Bim, sini. Di ujung,” Dea melambaikan tangan ke arahku.
Barangkali, dia melihatku kebingungan mencari tenda. Padahal, ada ruang pekat yang menjebakku  di dalamnya, ruang itu bernama kenangan. Dan, sebuah teriakan mampu menarikku keluar dari sana.

# # # # #


Kami membuat lingkaran kecil, kembali berdoa. Kembali menitipkan harap pada yang Maha Kuasa. Dalam doa, kami meminta kemudahan dan keselamatan. Tujuan kami selanjutnya adalah Hutan Mati lalu turun ke camp david.
Di sepanjang jalan menuju Hutan Mati, bunga edelweiss tumbuh subur. “Dulu, Pondok Salada seperti Tegal Alun, bunga edelweiss memenuhi seluruh tempat ini. Kemudian, Pondok Salada dibakar dan dijadikan camp ground,” kata ketua suku pendakian. 






Dua puluh menit berjalan, kami sampai di hutan mati. Kabut tebal menghalangi pandangan. Air jatuh satu-satu, gerimis. Tak perlu waktu lama untuk gerimis menjelma hujan.Menggelontorkan jutaan kubik air ke bumi. Sebagian mengantisipasinya  menggunakan jas hujan, sebagian memilih menerimanya tanpa persiapan. Aku memilih menikmati kucuran hujan, tanpa jas hujan, tanpa persiapan.
Kaki-kaki yang melangkah, sesekali terhenti untuk sekadar menikmati keindahan alam. Mengabadikannya menggunakan lensa kamera. Aku merekamnya melalui ingatan. Tak apa jika suatu saat nanti pudar. Lagi pula, ingatan memilih mana yang harus disimpan dan mana yang harus disisihkan.
Seperti saat ini, saat duduk di pinggir jurang, ingatanku kembali memilihmu, Nai. 




“Mau kubuatkan teh?” tanyamu. Seraya berdiri dan hendak berjalan menuju dapur rumahku.
“Tidak perlu, aku masih kuat puasa. Sayang kalau dibatalkan,” kataku.
Dia pun kembali duduk di sampingku. Wajahnya menyiratkan rasa cemas. Saat sakit, aku malas berbicara banyak-banyak tak terkecuali kepadanya. Dia pun berdiri, lalu mengambil salah satu buku di rak bukuku. il Postino karya Antonia Skarmeta.
“Tolong keraskan suaramu, aku ingin mendengarnya. Kamu tidak keberatan kan membacakannya untukku?”
“Rebahkan kepalamu di sini,” pintanya.
Aku merebahkan kepalaku di pahanya. Tangan kanannya mengusap-usap lembut kepalaku. Suaranya begitu lembut, membuatku mengantuk. Sebelum kantuk menguasaiku,aku mengatakan kepadanya, “Dari sekian banyak hal tentangmu, aku akan selalu merindukan hari ini. Hari di mana kamu membacakan sebuah novel untukku dan merebahkan kepalaku di pahamu. Terima kasih, sudah membuat hari ulang tahunku menyenangkan.”
“Galau mulu, yuk turun.” Teman-teman menghampiriku, mengajakku untuk segera turun menuju camp david.
Aku memilih berjalan paling belakang. Memerhatikan punggung teman-temanku, memerhatikan mereka berbagi tawa di tengah lelah.
Jika bisa memilih, aku ingin mengganti kenangan tentangmu dengan hal-hal baru. Aku ingin kenangan tentangmu memudar. Aku ingin berjalan lebih jauh, melangkah lebih jauh, membuat kisah lebih banyak. Menuliskan cerita tentang perjalanan-perjalanan. Bukan untuk lari darimu tapi untukku sendiri. 

Tulisan Pendakian Papandayan, lainnya:
Sulung Siti Hanum
Dea Sihotang
Arie
Tanie 


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

4 komentar:

  1. Apa kamu tidak terganggu, kenangan bersama Nai menjadi bagian cerita Takut Itu Nyata? :D

    BalasHapus
  2. Kenangan, hantu di sudut pikir.
    Lebih seram dari @takutitunyata.. he

    BalasHapus
  3. Uwww~ Sok Sweet banget Bedu :D
    Postingan selanjutnya mungkin bisa ganti tokoh N'ai dengan Irsyad, biar nggak galau lagi.. :P

    BalasHapus
  4. bisa aja nutupin hubungan lo sama irsyad. coming out, bro... haha

    BalasHapus