“Santai aja. Kalo nggak kuat, bilang. Nggak
perlu lambai-lambai tangan, nggak ada kamera. Ini pendakian, bukan uji nyali,”
kata Indra-kepala suku- mengingatkan teman-teman.
Di antara kami bersepuluh, hanya Indra dan
Irsyad yang sering mendaki, mereka masuk dalam katagori pertama. Katagori
kedua, pernah satu-dua-tiga kali mendaki gunung dan katagori ketiga, pendatang
baru dalam kancah dunia pendakian. (katagori suka-suka)
Aku masuk dalam katagori yang kedua, tak
benar-benar baru tetapi tak benar-benar mampu. Lari pagi, untuk menambah
kekuatan fisik saat mendaki hanya wacana semata. Ya, aku tidur pagi hari dan
tak mungkin memaksakan diri lari pagi. Tepatnya, malas lari pagi. Sebenarnya,
aku bisa mensiasatinya dengan lari pada sore hari. Tapi, sore hari dan
secangkir kopi adalah perpaduan yang istimewa. Kau tentu tak mau melewatkannya
hanya untuk lari dan menguras tenaga.
Tiga puluh menit berlalu. Wajah-wajah ceria,
kini berubah merah padam terbakar matahari. Sebagian dari kami duduk terpaku,
mengatur napas yang mulai megap-megap. Arie, menjadi penjaja air dadakan.
Taktik jitu untuk mengurangi beban air yang di dalam ransel. Masing-masing dari
kami membawa dua botol air kemasan berukuran 600 ml dan 1,5 liter. Irsyad dan
Juned, mencari batu panca warna khas Garut. Seperti kata pepatah, sekali
mendaki, dua tiga batu dikantongi.. hehe
“Kita akan ambil jalur yang berbeda, ke arah
kawah baru. Nggak banyak yang tahu jalur ini. Di sana kita akan istirahat,”
kata Indra ketika semua tim telah berkumpul.
Indra mulai menjelaskan terciptanya kawah
baru di Gunung Papandayan. Indra layaknya penceramah yang sedang memberikan
petuah. Kami, seperti anak-anak bandel yang tidak memedulikannnya. Sibuk dengan
urusan masing-masing.
Aku meminta rincian trek kepadanya dan memutuskan
berjalan lebih dulu. Sebuah sungai kecil mengalirkan air yang bening, seperti
menarikku untuk segera membasuh wajah. Kuletakkan carrier, membungkukkan badan
dan menangkup air dengan kedua tangan. Air mengeluarkan aroma belerang yang
menyengat, sontak saja kugagalkan membasuh muka dengan air ini.
Tak jauh dari aliran sungai, sebuah kawah
kecil terlihat begitu hijau. Di sampingnya, kepulan asap dari belerang terus
meninggi. Tak sulit menjangkau tempat itu. Sesampainya di sana, aku merebahkan
diri.
Tak perlu terburu-buru. Rebahkan kepalamu dan
pejamkan matamu. Puncak menarik untuk didaki, perjalanan harus dituntaskan,
tapi keindahan, harus tetap dirayakan.
Teman-teman masih jauh di belakang. Kini, aku
berteman sunyi dan sunyi menarikku ke perbincangan-perbincangan masa lalu. Magnetnya teralu kuat, aku tak bisa
melepaskan diri.
“Kenapa ya,
Bim, orang-orang senang menyusahkan diri. Seperti memilih liburan di gunung,
untuk mencapainya saja harus menguras tenaga. Padahal, pantai lebih mudah
dijangkau,” kata Nai saat kami menghabiskan waktu menonton DVD di rumahnya.
“Seperti tak
semua orang menyukai susu dan memilih kopi, padahal rasanya pahit.”
“Dua hal yang
berbeda, Bim. Kita tidak sedang membicarakan makanan,” keluhnya sambil
menyikutku pelan.
“Objeknya
memang berbeda, Nai, tapi sudut
pandangnya sama. Tak semua orang dapat menikmati susu sepertimu. Di luar sana,
banyak orang yang lebih menyukai kopi ketimbang susu. Seperti tak semua orang
menyukai laut dan memilih berlibur ke gunung.”
“Aku memilih
laut dan berharap bisa membuat rumah di dekat pantai. Melihat ombak
bergulung-gulung dan mendengarkan merdunya suara ombak menghantam karang. Kamu,
ingin di gunung atau pantai?”
“Di mana saja.”
“Tak punya
pendirian. Payah.”
“Bagiku, tak
jadi soal gunung atau pantai. Aku tak ingin bangun pagi melihat pantai dan
deburan ombak. Aku ingin melihatmu pertama kali ketika terjaga. Semua sama saja
selama ada dirimu di sampingku.”
Mungkin kamu
tak tahu dan tak pernah tahu, Nai. Tak jadi soal di mana kita menikmati
hari-hari ke depan. Cukup kamu yang menjadi penawar segala hal.
“Bim, bantuin
masak dong. Laper nih,” kata Arie sambil mengeluarkan mie instan dan air
mineral. Membuatku terjaga dalam lamunan.
tugas negara, makan-makan lucu |
# #
# # #
Setelah
menyelesaikan tugas negara (makan dan foto-foto), kami melanjutkan perjalanan
menuju Gober Hud. Untuk mencapainya, harus melewati jalan setapak yang berliku.
Hujan membuat jalan setapak sedikit berlumpur. Perlu hati-hati menapakinya agar
tidak terpeleset. Pintu Angin serupa gerbang besar, sebuah pintu untuk memasuki Guber Hud.
Aku
membayangkan diriku sebagai penguasa udara dalam serial Avatar Aang. Untuk bisa
menguasai elemen udara, masing-masing dari kami harus melewati Pintu Angin. Setelahnya,
semua akan mudah karena kami memliki Bison Terbang. Sayangnya, semua hanya
terjadi dalam kepalaku. Kenyataannya, jalan setepak yang berliku dan menanjak
membuatku megap-megap.
*jalan setapak menuju Gober Hud |
sunrise spot dekat Gober Hud |
Irsyad, Dea dan Arie berlajan lebih dulu menuju Pondok Salada. Mereka mempunyai misi mendirikan tenda. Aku bersama keenam teman lainnya bersitirahat sejenak di Guber Hod. Indra bahkan tertidur lelap.
Setelah merenggangkan
otot, aku melanjutkan perjalanan menuju Pondok Salada seorang diri,
meninggalkan keenam temanku yang masih beristirahat. Angin sore membelai lembut
tubuhku, memberikan sensasi dingin yang mulai merasuki sekujur tubuhku. Aku
mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dan menghisapnya dalam-dalam.
“Apa jadinya
ketika nanti kita beripisah dan hidup sendiri-sendiri?”
Akh, suara itu
lagi. Kenapa selalu hadir saat aku sendiri, kenapa selalu hadir saat aku merasa
sendiri. Kesendirian tak melulu sunyi, kesendirian adalah cara bagaimana kita
menyikapi diri. Aku bisa merasa sendiri dalam keramaian. Kesendirian kolektif,
bersama-sama namun tak merasa genap.
“Aku tak bisa
membayangkan dan tak membayangkan perpisahan. Tak ada yang indah dari
perpisahan,” kataku waktu itu.
“Ini hidup,
kita tak bisa menolak kemungkinan-kemungkinan di dalamnya. Seperti katamu,
risiko tidak datang dengan sendirinya. Dia mengikuti kemana langkah kaki
berpijak dan mengagetkanmu seketika.”
“Aku akan
tetapi menyayangimu. Aku hanya ingin melanjutkan hidup tanpa rasa benci,”
kataku.
“Akan lebih
mudah untuk kita melanjutkan hidup jika saling membenci.”
“Kalau
masing-masing dari kita tahu hasil akhir hubungan ini, mungkin kita tidak akan
berani memulai. Kamu hanya perlu ingat satu hal. Seburuk apa pun hubungan kita
berakhir, kita pernah saling mengisi dan membahagiakan. Hal itu cukup membuat
kita saling memafkan dan berdamai.”
Aku berjalan
menuju pintu rumahnya, menutupnya dan meninggalkannya. Aku malas membicarakan
perpisahan.
“Bim.. Bim,
sini. Di ujung,” Dea melambaikan tangan ke arahku.
Barangkali, dia
melihatku kebingungan mencari tenda. Padahal, ada ruang pekat yang
menjebakku di dalamnya, ruang itu
bernama kenangan. Dan, sebuah teriakan mampu menarikku keluar dari sana.
# # # # #
Kami membuat
lingkaran kecil, kembali berdoa. Kembali menitipkan harap pada yang Maha Kuasa.
Dalam doa, kami meminta kemudahan dan keselamatan. Tujuan kami selanjutnya
adalah Hutan Mati lalu turun ke camp david.
Di sepanjang
jalan menuju Hutan Mati, bunga edelweiss tumbuh subur. “Dulu, Pondok Salada
seperti Tegal Alun, bunga edelweiss memenuhi seluruh tempat ini. Kemudian, Pondok
Salada dibakar dan dijadikan camp ground,” kata ketua suku pendakian.
Dua puluh menit
berjalan, kami sampai di hutan mati. Kabut tebal menghalangi pandangan. Air
jatuh satu-satu, gerimis. Tak perlu waktu lama untuk gerimis menjelma hujan.Menggelontorkan
jutaan kubik air ke bumi. Sebagian mengantisipasinya menggunakan jas hujan, sebagian memilih
menerimanya tanpa persiapan. Aku memilih menikmati kucuran hujan, tanpa jas
hujan, tanpa persiapan.
Kaki-kaki yang
melangkah, sesekali terhenti untuk sekadar menikmati keindahan alam. Mengabadikannya
menggunakan lensa kamera. Aku merekamnya melalui ingatan. Tak apa jika suatu
saat nanti pudar. Lagi pula, ingatan memilih mana yang harus disimpan dan mana
yang harus disisihkan.
Seperti saat
ini, saat duduk di pinggir jurang, ingatanku kembali memilihmu, Nai.
“Mau kubuatkan teh?” tanyamu. Seraya berdiri
dan hendak berjalan menuju dapur rumahku.
“Tidak perlu, aku masih kuat puasa. Sayang
kalau dibatalkan,” kataku.
Dia pun kembali duduk di sampingku. Wajahnya
menyiratkan rasa cemas. Saat sakit, aku malas berbicara banyak-banyak tak
terkecuali kepadanya. Dia pun berdiri, lalu mengambil salah satu buku di rak
bukuku. il Postino karya Antonia Skarmeta.
“Tolong keraskan suaramu, aku ingin
mendengarnya. Kamu tidak keberatan kan membacakannya untukku?”
“Rebahkan kepalamu di sini,” pintanya.
Aku merebahkan kepalaku di pahanya. Tangan
kanannya mengusap-usap lembut kepalaku. Suaranya begitu lembut, membuatku
mengantuk. Sebelum kantuk menguasaiku,aku mengatakan kepadanya, “Dari sekian
banyak hal tentangmu, aku akan selalu merindukan hari ini. Hari di mana kamu
membacakan sebuah novel untukku dan merebahkan kepalaku di pahamu. Terima
kasih, sudah membuat hari ulang tahunku menyenangkan.”
“Galau mulu, yuk turun.” Teman-teman menghampiriku,
mengajakku untuk segera turun menuju camp david.
Aku memilih berjalan paling belakang. Memerhatikan
punggung teman-temanku, memerhatikan mereka berbagi tawa di tengah lelah.
Jika bisa memilih, aku ingin mengganti
kenangan tentangmu dengan hal-hal baru. Aku ingin kenangan tentangmu memudar. Aku
ingin berjalan lebih jauh, melangkah lebih jauh, membuat kisah lebih banyak. Menuliskan
cerita tentang perjalanan-perjalanan. Bukan untuk lari darimu tapi untukku
sendiri.
Tulisan Pendakian Papandayan, lainnya:
Sulung Siti Hanum
Dea Sihotang
Arie
Tanie
Tulisan Pendakian Papandayan, lainnya:
Sulung Siti Hanum
Dea Sihotang
Arie
Tanie
Apa kamu tidak terganggu, kenangan bersama Nai menjadi bagian cerita Takut Itu Nyata? :D
BalasHapusKenangan, hantu di sudut pikir.
BalasHapusLebih seram dari @takutitunyata.. he
Uwww~ Sok Sweet banget Bedu :D
BalasHapusPostingan selanjutnya mungkin bisa ganti tokoh N'ai dengan Irsyad, biar nggak galau lagi.. :P
bisa aja nutupin hubungan lo sama irsyad. coming out, bro... haha
BalasHapus