“Kapan terakhir patah hati?”
tanya seorang
teman memulai sesi tanya jawab malam itu.
Kurapatkan jaketku, udara malam ditambah
hembusan angin dari pendingin udara membuatku sedikit menggigil. Barangkali bukan
udara, tetapi pertanyaan itu yang membuat tubuhku mendadak kedinginan. Aku memesan
lagi segelas bir. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya aku memesan kopi hitam
tapi entah kenapa pilihanku jatuh pada minuman gandum ini. Mungkin, bir mampu membuatku lebih lepas,
lebih mudah membuka tirai memoriku tentang patah hati.
Aku membayangkan tuhan sedang berdiri di belakang etalase, di dalam sebuah toko bernama Cinta. Di etalase itu terdapat banyak hati.
Aku memilah dan hendak membeli satu hati
kepadaNya. Cukup lama aku bergeming dan tiba-tiba, pilihanku jatuh pada
sebentuk hati.
“Aku ingin yang ini,” kataku sambil menunjuk
sebuah hati milik perempuan muda berwajah oriental.
“Baiklah. Ini paketmu,” katanya sambil
menyerahkan satu paket cinta kepadaku.
“Kenapa sepaket, aku hanya butuh satu item
saja. Cinta saja cukup.”