“Kapan terakhir patah hati?” tanya seorang teman memulai sesi tanya jawab malam itu.
Kurapatkan jaketku, udara malam ditambah hembusan angin dari pendingin udara membuatku sedikit menggigil. Barangkali bukan udara, tetapi pertanyaan itu yang membuat tubuhku mendadak kedinginan. Aku memesan lagi segelas bir. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya aku memesan kopi hitam tapi entah kenapa pilihanku jatuh pada minuman gandum ini. Mungkin, bir mampu membuatku lebih lepas, lebih mudah membuka tirai memoriku tentang patah hati. Aku membayangkan tuhan sedang berdiri [.....]
Ada hal-hal yang tak kumengerti dari Dira, istriku itu. Dira kerap menyimpan barang-barang kecil dalam stoples lalu menyimpannya di dalam lemari khusus. Lemari yang terbuat dari aklirik yang kupikir akan digunakannya untuk menyimpkan koleksi bukunya. Sering aku bertanya mengenai hal ini, tapi Dira hanya tersenyum dan mengatakan sesuatu dalam stoples itu akan berguna suatu saat nanti. Barangkali, lima sampai sepuluh tahun lagi, tambahnya. Aku dan Dira sudah berpacaran dua tahun sebelum kami memutuskan menikah lima tahun lalu. Setelah menikah, kami pindah ke sebuah rumah kontarakkan, aku meminta [.....]
“Saya tidak ingin jatuh (cinta) terlalu dalam. Tak baik mencintai seseorang begitu dalam. Seseorang yang paling kamu cintai adalah seseorang yang paling mampu membuatmu patah hati,” kata seorang teman memulai sesi nyampah. Malam itu, berenam, kami duduk mengelilingi meja bundar. Di atasnya terdapat dua gelas bir, satu poci teh dengan dua gelas terbuat dari tanah liat, dan sepiring mie goreng. Entah siapa yang memulai, cinta menjadi topik yang dibicarakan. Kata yang tak habis dimakan jaman. Kata yang lebih mudah dirasakan daripada didefinisikan. Kata yang menjadi inspirasi [.....]