“Saya tidak ingin jatuh (cinta) terlalu
dalam. Tak baik mencintai seseorang begitu dalam. Seseorang yang paling kamu
cintai adalah seseorang yang paling mampu membuatmu patah hati,” kata seorang
teman memulai sesi nyampah.
Malam itu, berenam, kami duduk mengelilingi
meja bundar. Di atasnya terdapat dua gelas bir, satu poci teh dengan dua gelas
terbuat dari tanah liat, dan sepiring mie goreng. Entah siapa yang memulai,
cinta menjadi topik yang dibicarakan. Kata yang tak habis dimakan jaman. Kata
yang lebih mudah dirasakan daripada didefinisikan. Kata yang menjadi inspirasi
banyak hal. Cinta, menjadi topik yang tak pernah habis diperbicangkan.
Bagi saya, jatuh (cinta), ibarat terjun bebas
tanpa parasut. Tanpa persiapan, tanpa antisipasi karenanya dinamakan jatuh. Tiba-tiba
jatuh. Barangkali, saya terlalu naif dalam memandang hal ini. Semakin dewasa,
cinta tak sekadar jatuh, tak sekadar perkara hati tapi juga logika. Kita mulai
awas terhadap hal ini. Tak lagi sesederhana menyukai seseorang karena lesung pipinya.
Tak ingin jatuh terlalu dalam seperti
mengantisipasi hati agar tak pecah berantakan. Kalau pun terjatuh, kita sudah
menyiapkan parasut agar dapat mendarat dengan baik atau menyiapkan busa yang
dapat menahan diri dari kehancuran.
Lalu apa nikmatnya cinta yang penuh dengan
persiapan?
Saya sendiri tidak tahu. Jika jatuh cinta,
saya membiarkan diri saya jatuh sejatuh-jatuhnya. Menyelam sedalam-dalamnya. Perkara
luka yang ditimbulkan setelahnya, itulah risiko yang harus diterima. Bagi saya,
risiko bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba dan mengagetkanmu, risiko itu mengiringi.
Ada di setiap langkah kakimu.
“Cinta dan patah hati bukan sesuatu yang bisa
diantisipasi. Buktinya, ketika patah hati, kita tetap sakit. Jika bisa
diantipasi seharusnya tidak separah itu lukanya, tambah teman lainnya.
“Tapi, ketika kita mencintai seseorang, kita
harus siap untuk patah hati. Tidak semua hubungan berakhir dengan kebersamaan,”
timpal lainnya.
Sayangnya, kita tidak hidup dalam pola “seharusnya”.
Ketika sudah mempersiapkan, seharusnya tidak sakit. Ketika berupaya
sungguh-sungguh mempertahankan hubungan, seharusnya tidak pisah. Ketika saling
mencintai, seharusnya tetap bersama.
Ibarat kamu membawa secangkir teh hangat
untuk pasanganmu, tiba-tiba dia memintamu membawakan es teh manis. Kamu
berupaya keras meniupnya agar teh hangat dalam genggamanmu menjadi dingin dan
bisa diminum pasanganmu. Tiba-tiba, seseorang datang membawa segelas es teh
manis dan memberikannya kepada pasanganmu. Pasanganmu memilih es teh manis dari
orang itu daripada menunggu teh yang kamu bawakan untuknya. Terkadang, cinta tak peduli sekeras apa pun
usahamu. Pola seharusnya, tak lagi berlaku.
“Jadi, pacaran dua bulan tetapi intens atau
pacaran dua tahun tetapi biasa-biasa saja, datar?” tanya teman lainnya.
Satu per satu menjawab, dua bulan tetapi
intens dibandingkan dua tahun yang biasa-biasa saja. Penjelasannya beragam,
barangkali akan saya ceritakan di tulisan selanjutnya. Barangkali, tidak.
0 comments:
Posting Komentar