“Kapan terakhir patah hati?”
tanya seorang
teman memulai sesi tanya jawab malam itu.
Kurapatkan jaketku, udara malam ditambah
hembusan angin dari pendingin udara membuatku sedikit menggigil. Barangkali bukan
udara, tetapi pertanyaan itu yang membuat tubuhku mendadak kedinginan. Aku memesan
lagi segelas bir. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya aku memesan kopi hitam
tapi entah kenapa pilihanku jatuh pada minuman gandum ini. Mungkin, bir mampu membuatku lebih lepas,
lebih mudah membuka tirai memoriku tentang patah hati.
Aku membayangkan tuhan sedang berdiri di belakang etalase, di dalam sebuah toko bernama Cinta. Di etalase itu terdapat banyak hati.
Aku memilah dan hendak membeli satu hati
kepadaNya. Cukup lama aku bergeming dan tiba-tiba, pilihanku jatuh pada
sebentuk hati.
“Aku ingin yang ini,” kataku sambil menunjuk
sebuah hati milik perempuan muda berwajah oriental.
“Baiklah. Ini paketmu,” katanya sambil
menyerahkan satu paket cinta kepadaku.
“Kenapa sepaket, aku hanya butuh satu item
saja. Cinta saja cukup.”
“Hahahaha... Sayangnya, cinta tidak dijual
terpisah dengan patah hati, jika kamu ingin memilikinya, kamu juga harus
menerima patah hati. Cinta dan Patah
Hati tidak berdiri sendiri, dia satu kesatuan. Jika kamu tak siap menerima
patah hati, jangan mencoba untuk jatuh cinta.”
Melihat wajahku yang bingung, tuhan tertawa. Dia
mengajakku keluar dari toko, di depan toko, dia menatap langit malam. Aku
refleks mengikuti arah pandangannya. “Aku menciptakan malam dan siang, sepaket.
Manusia bisa memilih hidup di malam atau
siang hari. Meski kalian menatap langit yang sama, bintang yang sama, tetapi
perasaan yang keluar dari hati kalian berbeda-beda. Seperti halnya cinta dan
patah hati, perasaan yang ditumbulkannya berbeda-beda dan cara menyikapinya pun
berbeda.”
“Woy,
bengong. Kapan terakhir lo patah hati?” tanya temanku sambil menepuk bahuku. Lamunan
tentang tuhan di sebuah toko pun bubar berantakan.
“hmmmm... mungkin bukan patah hati, kecewa
lebih tepatnya. Tiga minggu lalu, aku ditolak seseorang yang aku sukai,”
jawabku.
“Apa yang lo rasain saat itu,” timpal
lainnya.
“Campur aduk. Kecewa tapi juga bahagia.”
“Apa yang bahagia dari penolakan. Harusnya
kan lo kecewa karena ditolak, kenapa ada perasaan bahagia yang muncul?”
“Saya kecewa, tapi jika mengingat bagaimana kali pertama kami
bertemu, menghabiskan waktu untuk sekadar telepon dan saling mengirim pesan
hinga ketiduran atau mengobrol hingga lupa waktu di sebuah kafe, perasaan
kecewa itu memudar. Dia mengingatkan saya bagaimana indahnya jatuh cinta. Degup
yang tak jelas saat melihatnya, bahkan, mengingat wajahnya saja membuat saya
sesak. Sudah cukup lama saya tidak merasakan degup itu. Dia. . . hadir membawa perasaan itu.”
“Apa alasan dia menolak lo?”
“Nggak suka, itu aja. Saya nggak memaksa dia
untuk memberikan jawaban lebih rinci. Seperti halnya menyatakan cinta, menolak
seseorang pun bukan perkara mudah. Dia harus memilih kata yang tepat agar tidak
menyakiti perasaan saya. Saya mengahargai keputusannya dan memilih tidak
mencecarnya.”
0 comments:
Posting Komentar